Minggu, 11 Oktober 2020

Pangeran Samber nyowo

Pangeran Samber Nyowo: Mangkubumi / Hamengkubuwono I, Adipati Anom / Pakubuwono III.

Oleh: Anggoro Ruwanto



Perjuangan Rm. Said.

Riwayat :

R.M. Said lahir di Kartasura anak dari  Mangkunegara, putra tertua Sunan Amangkurat IV (Pakubuwana I), penguasa Kesunanan Mataram-Kartasura. Dengan demikian, ia memiliki hak kedua setelah ayahnya sebagai pewaris takhta. Namun demikian, Mangkunegara secara politik terang-terangan anti-VOC, sikap yang sama dengan adiknya yaitu Mangkubumi, dan Purbaya.

Akibatnya : 

1. Mangkunegara dibuang ke Ceylon / Srilangka.

2. Purbaya dibuang ke Afrika.

3. Mangkubumi turut berjuang bersama sunan kuning / Amangkurat V.


Semua peristiwa itu terjadi saat Rm. Said masih berusia 12 tahun, 

Perjuangan R.M. Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Tionghoa di Kartosuro pada 30 Juni 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (juga disebut "Sunan Kuning"),  RM Said membangun pertahanan di Randulawang, sebelah utara Surakarta, Ia bergabung dengan laskar Sunan Kuning melawan VOC.

Pangeran Mangkubumi lalu bergabung dengan Rm. Said, yang bergerilya melawan Belanda di pedalaman Yogyakarta, 

Waktu berusia 22 tahun, Rm. Said dinikahkan dengan Raden Ayu Inten, Puteri Mangkubumi. Sejak saat itulah RM Said memakai gelar Pangeran Adipati Mangkunegara ( merujuk pada nama ayahnya Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura, yang dibuang Belanda ke Sri Langka. Ketika RM Said masih berusia 12 tahun, namun supaya tidak samar dengan Mangkunegara ayahnya lebih baik tetap kita sebut saja Rm. Said. Atau pangeran samber nyawa... oke 👍)


Ketika Rm. Said sedang bergerilya di pedalaman Yogyakarta ia mendengar kabar bahwa Paku Buwono II wafat. Ia menemui Mangkubumi, dan meminta mertuanya itu bersedia diangkat menjadi raja Mataram.

Maka,  Mangkubumi naik tahta di Mataram Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Susuhunan Pakubuwono III. ( Tapi kelak akan ada Pakubuwana III yang lain, yang pengangkatan nya sebagai raja dilantik oleh Belanda ) Penobatan ini terjadi pada 1749 Masehi. 


Rm. Said diangkat sebagai Patih –perdana menteri– sekaligus panglima perang. 

Dalam upacara penobatan itu, Rm. Said berdiri di samping Mangkubumi. Dengan suara lantang ia berseru, “Wahai kalian para Bupati dan Prajurit, sekarang aku hendak mengangkat Ayah mertua ku, Pangeran Mangkubumi menjadi raja Yogya Mataram. Siapa diantara kalian yang menentang, akulah yang akan menghadapinya di medan perang” meski demikian, pemerintahan Mataram Yogyakarta yang berpusat di Kotagede itu TIDAK DIAKUI BELANDA.


Karena : sebelum wafatnya, Sunan Paku Buwono II. menyerahkan tahta Mataram kepada Belanda. ( Sesuai perjanjian Ponorogo ) Pangeran Adipati Anom, putera Mahkota Paku Buwono II, dinobatkan sebagai raja Mataram oleh Belanda, dengan gelar Paku buwuno III, pada akhir 1749 INILAH YANG DIAKUI SAH OLEH BELANDA.


Hal ini lah yang membuat Mangkubumi bimbang, karena kalau terus nekat menjadi raja, maka dia seumur hidup akan terus berperang dengan pasukan VOC dan pasukan Pakubuwana III. Dan Pasti kalah, dengan semua pertimbangan itu akhirnya dia dan seluruh pengikutnya meninggalkan Rm. Said ( menantunya + kawan seperjuangan selama 9 tahun bergerilya ) dan menyerahkan diri kepada Belanda.

Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, sebagai hasil rekayasa Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, Surakarta / Sunan Pakubuwana III, dan Yogyakarta / ( Pangeran Arya Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I ) Perjanjian Giyanti, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram.


KISAH PERTEMPURAN Rm. Said. 

Pangeran SAMBER NYAWA.


Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, perwakilan VOC karena di dalam peperangan pedang dan keris R.M. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.


RM Said berperang selama 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. :


1. Tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa bersama sunan Kuning melawan Belanda, Cakraningrat IV. Dan Pakubuwana II.c

2. Tahun 1743-1752. dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 

3. Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi, pamannya sekaligus mertuanya yang dianggapnya berkhianat dan dilantik oleh VOC), serta pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. 

Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Rm. Said melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.


Dalam membina kesatuan bala tentaranya, Rm. Said memiliki motto tiji tibèh, yang merupakan kependekan dari mati siji, mati kabèh; mukti siji, mukti kabèh (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dengan motto ini, rasa kebersamaan pasukannya terjaga.


Rm. Said dikenal sebagai panglima perang yang berhasil membina pasukan yang militan. Dari sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, oleh pihak Belanda karena sabetan pedang / keris dan hunjaman tombak nya  menyebar maut dipihak mereka, Kehebatan Rm. Said dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani lawannya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegoro. “Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman.


TIGA PERTEMPURAN dahsyat terjadi pada periode 1752-1757


1. Yang pertama, pasukan Rm. Said bertempur melawan pasukan Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) di desa Kasatriyan, barat daya kota Ponorogo, Jawa Timur. Perang itu terjadi pada hari Jumat Kliwon, tanggal 16 Syawal “tahun Je” 1678 (Jawa) atau 1752 Masehi. Desa Kasatriyan merupakan benteng pertahanan Said setelah berhasil menguasai daerah Madiun, Magetan, dan Ponorogo.


2. Yang kedua,(Senin Pahing, 17 Sura, tahun Wawu 1681 J / 1756 M). Rm. Said bertempur melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri Rembang, tepatnya di hutan Sitakepyak. Sultan Hamengkubuwono I, mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menghancurkan pertahanan Rm. Said. Besarnya pasukan Sultan itu dilukiskan “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”. Kendati jumlah pasukan Rm. Said itu kecil, ia dapat memukul mundur musuhnya. Ia mengklaim cuma kehilangan 38 prajurit tewas dan 129 menderita luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas. ).Pada pertempuran ini, Mangkunegoro berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan diserahkan kepada salah satu istrinya sebagai hadiah perkawinan.


3. Yang ketiga, penyerbuan benteng Vredeburg Belanda dan Kasultanan Yogyakarta-Mataram (Kamis 3 Sapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M).

Peristiwa itu dipicu oleh kekalutan tentara VOC yang mengejar Rm. Said sambil membakar dan menjarah harta benda penduduk desa. Hal ini menimbulkan murka Rm. Said, Ia balik menyerang pasukan VOC dan Mataram. Setelah memancung kepala Patih Mataram, Joyosudirgo, secara diam-diam Rm. Said membawa pasukan mendekat ke Keraton Yogyakarta. Benteng VOC, yang letaknya cuma beberapa puluh meter dari Keraton Yogyakarta, diserang. Lima tentara VOC tewas, ratusan lainnya melarikan diri ke Keraton Yogyakarta. Selanjutnya pasukan Rm. Said menyerang Keraton Yogyakarta. Pertempuran ini berlangsung sehari penuh Rm. Said baru menarik mundur pasukannya menjelang malam. Serbuan Rm. Said ke Keraton Yogyakarta mengundang amarah Sultan Hamengku Buwono I. Ia menawarkan hadiah 500 real, serta kedudukan sebagai bupati kepada siapa saja yang dapat menangkap Rm. Said, Sultan gagal menangkap Rm. Said yang masih keponakan dan juga menantunya itu. VOC, yang tidak berhasil membujuk Rm. Said ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuh Rm. Said. Alias Pangeran Samber nyawa.


Bagaimana akhir perjuangan Pangeran Samber nyawa ? 

Tunggu di bagian 14.


  

Catatan kaki Sunting

^ a b c Sumahatmaka et al. 1973. Pratelan Para Darah Dalem Soewargi Kangdjeng Goesti Pangeran Adipati <arja Mangkoenagara I hing Soerakarta Hadiningrat: Asalsilah djilid I. Mangkunegaran. Surakarta.

Referensi Sunting

Fananie, Zainuddin, Restrukturisasi Budaya Jawa (Perspektif KGPAA Mangkoenagoro I), Muhammadiyah University Press, 1994. Catatan: Merupakan kajian ilmiah yang telah dilakukannya dan dibiayai oleh Tokyo Foundation.

Babad Lelampahan, Reksa Pustaka Mangkoenegaran no 222 MS/J. Naskah Asli tersimpan di British Library Manuscript dengan judul Babad Mangkoenegoro. No. Add. 12283.

Babad Memengsahanipun Kanjeng KGPAA Mangkoenagoro I, Kaliyan Kanjeng Sultan Ngayogya (HB I), Naskah koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta, cat, MS/J; no. 308:237 halaman.

Babad Tutur, naskah transliterasi Th.G.Th. Pigeaud, tercatat dalam Perpustakaan Reksa Pustaka Mangkunagaran dengan judul Babad Nitik, no. cat.B29 MS/L x 590 halaman.

0 komentar:

Posting Komentar