Minggu, 11 Oktober 2020

Pakubuwana IV

Pakubuwana IV (seri Amangkurat ) 

Oleh: Anggoro Ruwanto

Sekedar pengingat : 

Sebelum wafat sunan Pakubuwana II sudah menyerahkan tahta Mataram kepada Belanda, jadi setelah dia wafat, Belanda melantik anaknya yang bergelar Adipati Anom sebagai Pakubuwana III.

Pakubuwana III sangat penurut pada apapun keinginan VOC hal ini terus menimbulkan konflik intern dan ketegangan yang membuat merosot nya wibawa keraton Surakarta. Sampai Pakubuwono III wafat 26 September 1788.

( Supaya lebih jelas baca di postingan saya PANGERAN SAMBER NYAWA bagian 13 & 14 )


Pakubuwana IV.

Lahir 31 Agustus 1768.

Naik tahta 29 September 1788

Wafat 1 Oktober 1820

Ayah : Sunan Pakubuwana III

Ibu     :  Kangjeng Ratu Beruk

Nama kecil Raden Mas Gusti Subadaya

Julukan Sunan Bagus

Ditasbihkan sebagai raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat dengan gelar Sampeyan-Dalam Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhanan Pakubuwono IV pada 29 September 1788. 

Saat itu, Kraton Solo mengalami penurunan legitimasi dan kewibawaan.


Perjanjian Giyanti yang diteken ayahandanya, Pakubuwono III, pada 13 Februari 1755, membuat Kasunanan / Kesultanan / kerajaan Surakarta Hadiningrat dibelah dua dengan terbentuknya Kasultanan Yogyakarta dipimpin Sultan Hamengkubuwono. 

Dua tahun setelah Perjanjian Giyanti diratifikasi, tepatnya pada 17 Maret 1757, Pakubuwono III kembali meneken Perjanjian Salatiga yang membuat wilayah Surakarta dibelah lagi untuk Raden Mas Said ( Pangeran Samber nyawa ) menjadi wilayah Mangkunegara, 


Pakubuwono IV yang kala itu berusia 19 tahun mestinya tahu benar situasi pecahnya kerajaan Mataram. Yang oleh rakyat Jawa disebut palihan nagari. ( Pembelahan negara ) lebih buruk lagi Belanda / VOC selalu turut campur dalam semua persoalan keraton. Hal ini akibat implementasi dari penyerahan kedaulatan kerajaan kepada Belanda yang diteken oleh kakeknya Pakubuwana II  pada 11 Desember 1749.


Padahal beberapa pejabat Belanda, atau  Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yang berinteraksi dengan Kraton Solo adalah pejabat paling korup dan tidak cakap menjalankan tugas mereka. Kondisi itu membuat kehidupan di lingkungan Kraton Solo yang diwariskan ayahnya—yang dikenal lemah pendirian sehingga mudah terpengaruh bisikan VOC—kental dengan aroma ketegangan dan persekongkolan.


Menyadari kondisi tak menguntungkan tersebut, Pakubuwono IV bertekad mengembalikan kewibawaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Karena itulah, sejak awal memerintah, kebijakan politik Pakubuwono IV selalu tampak mengarah kepada upaya-upaya menjatuhkan Kasultanan Yogyakarta dan melepaskan diri dari tekanan pemerintah kolonial bentukan VOC.


Pada awal tahun 1789, Pakubuwono IV bahkan mulai mengangkat kelompok Ulama-ulama baru yang lebih ia percaya untuk menduduki jabatan-jabatan tinggi. Orang-orang ini menganut ide-ide keagamaan yang ditentang oleh ulama-ulama dan kyai-kyai, serta penganut keagamaan yang sudah mapan di Surakarta.


Kelompok keagamaan yang telah mapan di Surakarta menuduh kelompok baru yang mengaku sebagai tarekat sufi Shatariyyah itu sebagai kelompok sesat. kelompok tarekat sufi Shatariyyah itu berusaha meyakinkan Pakubuwono IV bahwa Kasunanan Surakarta Hadiningrat bisa mengukuhkan diri sebagai kerajaan Jawa yang lebih senior. Lebih mempunyai power seperti jaman Sultan Agung.


Pemikiran semacam itu dianggap Belanda / VOC mengancam asas kesetaraan tiga kerajaan yaitu Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegara, Itu juga berarti mengancam pengaruh VOC di lingkungan Kraton Solo / Surakarta. 


Membaca situasi politik di kasunanan Surakarta, Kasultananan Yogyakarta merasa yakin bahwa Pakubuwana IV sedang merencanakan perang untuk mempersatukan kembali kerajaan Mataram. 


Nyatanya, desas-desus mulai tersebar dan membikin gentar pelbagai pihak. 

1. Adipati Mangkunegara I ,mulai mencemaskan masa depannya sendiri dan keturunannya. 

2. Sultan Yogyakarta Hamengkubuwono I, merasa khawatir akan stabilitas pembagian kerajaan. 

3. Tokoh-tokoh senior Kasunanan Surakarta yang tersisih mencemaskan nasib mereka dan nasib kerajaan. 

Akhirnya mereka semua mulai berusaha mengajak VOC bergabung melawan Pakubuwono IV.


Gubernur Belanda wilayah pesisir timur laut yang berkedudukan di Semarang, sejatinya mengetahui bahwa perbuatan Residen Surakarta, W.A. Palm, ( perwakilan pemerintah Belanda ) yang korup dan pemeras telah memicu timbulnya rasa benci Pakubuwono IV terhadap bangsa Eropa. Meski demikian, baru pada bulan Juli 1789, pejabat tinggi Belanda itu menyadari adanya suatu ancaman, yakni setelah berembusnya desas-desus bahwa Pakubuwono IV dan para penasihatnya yang baru itu ( kelompok Shatariyyah ) kemungkinan sedang merencanakan pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang Eropa di Jawa tengah, Terlebih lagi, pada suatu malam di bulan September 1789, residen di Surakarta, Andries Hartsinck, ( Perwakilan VOC ) diketahui pergi menghadiri suatu pertemuan rahasia di istana dengan mengenakan busana Jawa.


Kendati menyadari bahwa kebenaran desas-desus tentang rencana pembantaian terhadap orang-orang Eropa itu mungkin saja tidak benar,  tetap saja membuat orang-orang Eropa merasa khawatir ancaman itu benar-benar terjadi. Di samping itu, meskipun peranan residen Surakarta Andries Hartsinck tidak pernah dijelaskan seluruhnya, Belanda tetap saja waswas kalau kalau pengkhianatan bahkan telah menyusup ke dalam benteng mereka di Surakarta. Alhasil, VOC mulai panik, gentar hanya karena desas-desus yang berkembang.


Disadari pula oleh VOC bahwa Hamengkubuwono I sebagai salah satu mitra terpecaya mereka sudah tua dan kadang kala jatuh sakit. Pemerintah kolonial Belanda khawatir wafatnya Hamengkubuwono I bakal memicu krisis pergantian raja di Yogyakarta yang memberikan alasan kepada Kasunanan Surakarta untuk melakukan intervensi militer. Kekhawatiran itu pun dimanfaatkan Kasultanan Yogyakarta agar VOC segera mengambil langkah-langkah militer guna menghentikan rencana Pakubuwono IV.


Baik Hamengkubuwono I, maupun Mangkunegara I, rupanya sama-sama percaya bahwa ancaman yang mungkin timbul dari rencana Pakubuwono IV itu akan sedemikian dahsyatnya. Sehingga, untuk pertama kalinya setelah hampir 40 tahun, mereka bersepakat bekerja sama.


Mangkunegara selanjutnya diganjar VOC 4.000 ringgit setiap tahun guna membebaskan diri dari Pakubuwana IV, ( selama ini biaya operasional keraton Mangkunegara, bergantung pada Pakubuwono IV / Surakarta ) dan demi memastikan dukungannya terhadap tindakan-tindakan VOC. Pada tahun 1792, VOC bahkan menetapkan bahwa keturunan Mangkunegara I akan mewarisi daerah kekuasaannya yang terdiri atas 4.000 cacah. Dengan demikian, Kadipaten Mangkunegaran kini menjadi suatu lembaga yang permanen.


Selanjutnya, pada November 1790, musuh-musuh Pakubuwana IV itu mulai mengepung Kraton Solo. Beberapa ribu prajurit dari Yogyakarta dan daerah kekuasaan Mangkunegara mengambil posisi di sekitar Surakana. VOC mengirim ratusan serdadu Madura, Bugis, Melayu, dan Eropa ke bentengnya yang berada di dalam Kota Solo. Sementara itu, di dalam kraton, para pangeran dan pejabat tinggi senior Surakarta menambah tekanan terhadap Pakubuwono IV supaya menyingkirkan penasihat-penasihat barunya yang dari aliran Shatariyyah dan tidak mengikuti rencana-rencana rnereka sebelum mereka membuat kerajaan Surakarta hancur.


Merasa berada di atas angin, Sultan Hamengkubuwono I Yogyakarta, mulai berpikir kembali tentang kemungkinan melakukan penggabungan kerajaan di bawah kekuasaannya. Maka, ia pun mengajukan permintaan kepada VOC agar putra mahkotanya dijadikan raja di Surakarta seandainya Pakubuwono  IV dimakzulkan, Tetapi, VOC menolak permintaan itu karena diam-diam telah memutuskan untuk mengakui Mangkunegara I sebagai Raja Surakarta seandainya Pakubuwana IV nanti dimakzulkan.


Ancaman VOC, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegaran terhadap Kasunanan Surakarta yang dicatat para sejarawan sebagai Peristiwa Pakepung itu sepertinya tak membikin gentar Pakubuwono IV. Pasukan serta meriam telah ia siagakan. Namun bujukan kerabatnya seperti Pangeran Arya Purubaya dan Raden Adipati Jayaningrat ( tercatat dalam Babad Panembangan )  membuatnya tunduk dan memenuhi kemauan VOC dan musuh-musuhnya yang lain.


Pada 26 November 1790, dia menyerahkan para penasihat barunya itu kepada VOC yang segera saja mengasingkan mereka ke Batavia yang lalu membuang mereka semua ke Afrika Selatan. Lebih jauh lagi, atas desakan para kerabatnya, Pakubuwono IV bahkan memohon pengampunan kepada VOC, dan permohonan ampun itu dengan cepat dikabulkan oleh VOC.  Rupanya, VOC merasa lega karena tidak jadi mengeluarkan biaya perang seiring kembalinya pengaruh generasi tua / para pejabat senior yang tetap pada pemikiran lama Kasunanan Surakarta. Kondisi itu juga berarti pembagian wilayah kerajaan-kerajaan Jawa Tengah telah dipermanenkan sehingga lestarilah kekuasaan VOC atas Pulau Jawa.


Sumber:

Ricklefs, M. C.. 2008. A History of Modern Indonesia since c. 1200, New York: Palgrave MacMillan.

Ricklefs, M.C.. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi.

Sastrawikrama, Mas Ngabei. 1926. Serat Wicara Keras. Kediri: Tan Gun Swi.

0 komentar:

Posting Komentar