Minggu, 11 Oktober 2020

Hamengkubuwono II

Hamengkubuwono II (seri Amangkurat ): Pakubuwana IV, dan Mangkunegara I.

Oleh: Anggoro Ruwanto

Sebagai pengingat : 

Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I (alias Mas Said / Pangeran Samber nyawa ) kembali bekerja sama untuk pertama kalinya sejak zaman pemberontakan dulu. Mereka bersama VOC bergerak mengepung Pakubuwana IV di Surakarta karena Paku Buwono IV memiliki penasihat penasihat Spiritual aliran Shatariyyah, yang membuat khawatir VOC. Pakubuwana IV akhirnya menyerah dan membiarkan penasihat penasihat spiritualnya dibuang ke Afrika Selatan oleh VOC.Ini adalah kerja sama dalam kepentingan yang sama yaitu mencegah ide Mataram raya yang terus dihembus hembuskan penasihat spiritual yang merupakan ancaman potensial pemberontakan kembali.


Hamengkubuwana I pernah berupaya agar putranya dikawinkan dengan putri Paku Buwono III raja Surakarta dengan tujuan untuk bersatunya kembali Mataram namun gagal. Pakubuwana IV yang merupakan penerus Paku Buwono III lahir untuk menggantikan ayahnya.


Hamengkubuwana I adalah peletak dasar-dasar Kesultanan Yogyakarta. Ia dianggap sebagai raja terbesar dari keluarga Mataram sejak Sultan Agung. Yogyakarta memang negeri baru namun kebesarannya waktu itu telah berhasil mengungguli Surakarta. Angkatan perangnya bahkan lebih besar daripada jumlah tentara VOC di Jawa.


Hamengkubuwana I tidak hanya seorang raja bijaksana yang ahli dalam strategi berperang, tetapi juga seorang pecinta keindahan. Karya arsitektur pada jamannya yang monumental adalah Taman Sari Keraton Yogyakarta.Taman Sari di rancang oleh orang berkebangsaan Portugis yang terdampar di laut selatan dan menjadi ahli bangunan Kasultanan dengan nama Jawa Demang Tegis.


Meskipun permusuhannya dengan Belanda berakhir damai namun bukan berarti ia berhenti membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah mencoba memperlambat keinginan Belanda untuk mendirikan sebuah benteng di lingkungan keraton Yogyakarta. Ia juga berusaha keras menghalangi pihak VOC untuk ikut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi I ( Rm. Said / Pangeran Samber nyawa )adalah perang terberat yang pernah dihadapi VOC di Jawa (sejak 1619 - 1799).


Rasa benci Hamengkubuwana I terhadap penjajah asing ini kemudian diwariskan kepada Hamengkubuwana II, raja selanjutnya. Maka, tidaklah berlebihan jika pemerintah Republik Indonesia menetapkan Sultan Hamengkubuwana I sebagai pahlawan nasional pada tanggal 10 November 2006 beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta.Sebagai Pahlawan Nasional.


Hamengkubuwana I meninggal dunia tanggal 24 Maret 1792. Kedudukannya sebagai raja Yogyakarta digantikan putranya yang bergelar Hamengkubuwana II.


1. Sri Sultan Hamengkubuwana II (lahir 7 Maret 1750 – meninggal 3 Januari 1828 pada umur 77 tahun) 

2. Raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792 - 1810, 1811 - 1812, dan 1826 - 1828. 

3. Pada pemerintahan yang kedua dan ketiga ia dikenal dengan julukan Sultan Sepuh.

4. Masa jabatannya yang kedua adalah yang paling singkat dalam sejarah Kesultanan Yogyakarta.


Riwayat Masa Muda :


Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Sundara, putra kelima Sultan Hamengkubuwana I dari permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Hageng/GKR Kadipaten. 

Beliau dilahirkan tanggal 7 Maret 1750.

Ketika kedaulatan Hamengkubuwana I mendapat pengakuan dalam perjanjian Giyanti tahun 1755, Mas Sundara juga ikut diakui sebagai adipati anom.


Pada tahun 1774 (atau tahun Jawa 1700), terjadi kegelisahan di kalangan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta akibat ramalan/mitos akhir abad, bahwa akan ada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas Sundara / Adipati Anom, menulis kitab Suryaraja yang berisi ramalan bahwa mitos akhir abad akan gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Naskah tersebut sampai saat ini dikeramatkan sebagai salah satu pusaka Keraton Yogyakarta, dengan nama Kangjeng Kyai Suryaraja.


PEMERINTAHAN PERIODE 1.

Mas Sundara naik tahta di Kesultanan Yogyakarta sebagai Hamengkubuwana II pada bulan Maret 1792. Ia merupakan raja yang penuh dengan cita-cita. Pada 19 Agustus 1799, Patih Danureja I, patih pertama dan orang terdekat dari ayahnya dan Sultan Hamengkubuwana II sendiri, meninggal, digantikan cucunya, Raden Tumenggung Mertanegara, yang bergelar Danureja II. Keputusan ini kelak merugikan Sultan sendiri, karena Danureja II lebih banyak membela Belanda daripada rajanya, sehingga sempat membuat Sultan marah dan memecatnya.


Hamengkubuwana II sendiri sejak awal bersikap anti terhadap Belanda. Ia bahkan mengetahui kalau VOC sedang dalam keadaan bangkrut dan bobrok. Organisasi ini akhirnya dibubarkan oleh pemerintah negeri Belanda akhir tahun 1799.


Sejak tahun 1808 yang menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda / VOC adalah Herman Daendels yang anti feodalisme. Ia menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnya dilakukan raja-raja Jawa terhadap minister / residen / pejabat Belanda setingkat Bupati atau walikota, yakni : 

1. Kursi residen harus lebih tinggi daripada kursi sultan.

2. Residen cukup bersalaman tidak perlu lagi memberikan sikap sembah kepada sultan.

3. Sultan tidak boleh meninggalkan pertemuan sebelum residen pergi.

4. Sultan tidak boleh menghadap residen kalau tidak dipanggil menghadap.

5. Sultan dilarang memakai kereta kencana bila keluar keraton, cukup naik kuda saja. ( Kecuali keluar wilayah )


Sultan menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya, sedangkan Pakubuwana IV menerima karena mempunyai niatan tersembunyi, yaitu harapan bahwa Belanda akan membantu Surakarta menaklukkan Yogyakarta.


PATIH DANUREJA II DIPECAT.

Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang dekat dengan Belanda, karena diam diam Patih Danureja II sering menjual beberapa pusaka keraton kepada Belanda. Juga menjadi rentenir yang memeras para pangeran yang sedang terdesak keuangannya. Hubungan nya yang erat dengan para pejabat Belanda ini berbahaya, karena bisa menjadi mata-mata dan menguping pembicaraan intern Sri Sultan dengan para Patih nya yang juga sama-sama anti Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan Pangeran Natadiningrat, putra Pangeran Natakusuma (adik Hamengkubuwana II).


PEMBERONTAKAN Rd. RANGGA PRAWIRA DIRJO III. 

Kemudian Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan menantunya, yaitu Raden Rangga Prawiradirjo III, bupati wedana Madiun yang menentang pemanggilan dirinya ke Bogor akibat kasus kerusuhan di Ngebel dan Sekedok, karena Daendels memaksa hendak mengambil alih pengelolaan hutan jati milik kesultanan Jogjakarta.  

Belanda akhirnya menumpas pemberontakan Raden Ronggo dengan pasukan gabungan antara Belanda, Surakarta, dan Yogyakarta. ( Dalam hal ini Hamengkubuwono II mengirimkan pasukan pura-pura bukan pasukan keraton yang sesungguhnya dan berperangnya juga pura-pura sudah diatur via surat menyurat dengan Rd. Ronggo ) Hal ini menyebabkan Daendels semakin mencurigai peran Hamengkubuwana II di balik gerakan Raden Rangga, apalagi dari surat yang diambil sebagai barang bukti dari jasad Raden Rangga, terdapat cap berlogo kesultanan. Hal ini menyebabkan keributan antara kedua pihak. Sultan terang saja menolak tuduhan itu, karena cap kesultanan sehari-hari berada di kantor patih. 


GUBERNUR HERMAN DAENDELS BERTINDAK :

Pada bulan Desember 1810, Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan putranya, GRM Suraja, sebagai Sultan Hamengkubuwana III, menangkap Pangeran Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II.


PENYERBUAN INGGRIS ke JOGJAKARTA.

disebut perang Sepehi. 

Bagaimana serunya Pertempuran itu akan saya ceritakan dibagian 20.


Buku bacaan Sunting

Marihandono, Djoko, dan Harto Juwono. 2008. Sultan Hamengku Buwono II Pembela Tradisi dan Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Banjar Aji

Soekanto, Dr.. 1952. Sekitar Jogjakarta. Djakarta: Mahabarata

Referensi Sunting

^ a b c d e Biografi singkat HB II. Website resmi kraton Yogyakarta. 2019. Diakses tanggal 20/07/2019

^ Daendels menurunkan HBII dan mengangkat anaknya menjadi Hamengkubuwana III

^ Ricklefs, M. C. (1981) A history of modern Indonesia since c.1300 to the present Basingstoke: Palgrave. . ISBN 0-333-24380-3 (pbk.) hlm. 101 mengenai tanggal berkuasa kembali

0 komentar:

Posting Komentar