Minggu, 11 Oktober 2020

Pangeran Diponegoro 7

 DIPONEGORO PAHLAWAN GOA SELARONG.

Bagian 7.

Oleh: Anggoro Ruwanto

INSIDEN PERTAMA.

Terjadi pada tgl 15 Oktober 1808. 

Pada pagi itu Residen Van Braam dan istrinya hendak kembali ke Surakarta, saat kereta mereka mau masuk jalan utama, dan sudah setengah badan kereta, ketika tiba-tiba rombongan berkuda Raden Ronggo melaju dengan cepat melintas di depan kereta Residen Van Braam dan terus berderap melaju tanpa menoleh apalagi berhenti sama sekali.

Kejadian ini membuat kusir kereta Residen terkejut dan cepat-cepat menarik kendali, sehingga kuda-kuda itu juga terkejut meringkik dan berdiri sambil mengangkat kedua kaki depan nya. Hampir saja residen terlempar keluar dari kereta karena pintunya belum tertutup sempurna.

Residen Van Braam melaporkan ini kepada Sultan Hamengkubuwono II dan Sultan kemudian menyuruh Raden Ronggo meminta maaf.. yang kemudian dilaksanakan. 

Namun Residen Van Braam belum puas, dia menuntut supaya permintaan maafnya dilakukan didepan seluruh pejabat keraton.

Dengan wajah merah padam menahan marah Raden Ronggo melakukan nya, hanya karena tidak enak hati kepada Sultan Hamengkubuwono II saja. 


INSIDEN KEDUA.

Terjadi pada tgl 16 Oktober 1808.

Saat Residen Van Braam berkereta ke Klaten untuk menanda tangani Perjanjian serikat pekerja kuli panggul,  lagi-lagi berserobokan dengan Raden Ronggo dan rombongannya yang juga hendak berangkat ke Klaten sebagai utusan jogjakarta mewakili Sri Sultan Hamengkubuwana II untuk menandatangani surat perjanjian yang sama.

Memang tidak sampai terjadi apa-apa secara fisik, tetapi wajah geram Raden Ronggo diperlihatkan terang-terangan kepada Residen Van Braam.

Dan inilah laporan Van Braam yang dia tulis untuk Daendels : 

" Orang yang berbahaya, cepat naik darah, pembenci, banyak ulah, dan tidak mau mengalah, akan jadi musuh Belanda nomer satu. "


INSIDEN KE TIGA.

Pada tanggal 3 Desember 1808.

Mantan Residen Rembang Gustaf Wilhelm Wiese, dilantik oleh Pieter Engelhard sebagai Residen jogjakarta, dan diperkenalkan kepada sultan Hamengkubuwana II. 

Semuanya berjalan baik dan normal sampai pada tgl 22 Desember 1808 Wiese menulis surat kepada Sri Sultan Hamengkubuwana II untuk minta sumbangan uang tunai sebagai tanda persahabatan.

Yang jumlahnya sangat besar dan memaksa.  Tentu saja hal ini membikin Sultan dan para pejabat keraton meriang panas dingin menahan rasa terhina dan marah.

Sementara hal ini masih dijadikan tawar menawar. Diam-diam Sultan memerintahkan semua prajurit dan awam di mobilisasi untuk persiapan perang. 

Diponegoro mencatat : banyak sekali rakyat yang bila keluar rumah berpakaian perang dan pedang di pinggang.


Tgl 29 Juli 1809.

Diponegoro ditugaskan untuk menyambut Daendels di Kalasan, dalam hal ini Diponegoro memimpin prajurit kadipaten bersama kedua adiknya Adinegoro dan Suryobrongto.

Dan Deandels merasa sangat puas dengan semua perjamuan dan tontonan yang dihadirkan untuk menyambut nya.

Namun semuanya hanya basa-basi tanpa membuahkan komitmen yang jelas. Diponegoro sendiri mencatat : Kathah wicoro kang nora dadyio .


KISRUH KAYU JATI.

Sementara semua penyambutan Daendels masih berlangsung, sebaliknya di wilayah Jawa timur dan pesisir pantai Utara, makin memburuk, karena sejak Juli Daendels menuntut sultan untuk : 

1. Membuka akses hutan jati, supaya Belanda bisa ikut mengelola.

2. Larangan bagi pengusaha swasta kayu jati melewati pesisir Utara yang dikuasai Belanda. 

3. Belanda memonopoli perdagangan kayu jati, yang disubkontrakan kepada pengusaha-pengusaha Tionghoa.


Tanggal 27 April 1809 para Bupati wilayah timur pada menghadap Sultan, untuk mengadukan masalah ini, dimana para Bupati ini yang banyak kehilangan pendapatan dan rakyat kecil makin terjepit, karena mereka tidak bisa lagi memanfaatkan lahan antara untuk tumpang sari, tidak bisa lagi mencari entung jati, tidak bisa lagi mencari kayu-kayu yang kering, dan tidak bisa lagi memanfaatkan daun jati untuk bermacam-macam keperluan. Terjadi penangkapan dan penyiksaan kepada rakyat kecil apabila memasuki area hutan jati.


Untuk buruh kayu jati pun para pengusaha swasta itu menyewa dari daerahnya sendiri, sehingga banyak dari rakyat lokal jadi pengangguran dan bertindak kriminal. Hutan Kedawung perbatasan antara Pekalongan dan Kendal menjadi basis para perampok yang melakukan aksi aksinya disepanjang Pantura.


Sultan mendengarkan semua keluh kesah itu dan berjanji akan berpihak pada mereka, namun tidak ada tindakan apapun yang konkrit.

Sebaliknya kerusuhan demi kerusuhan mulai makin sering terjadi di wilayah timur.

Dalam hal ini Belanda menuduh Raden Ronggo berada dibalik semua peristiwa ini, Raden Ronggo lah dalangnya. Sehingga Raden Ronggo sering dipanggil ke Semarang. Hal ini membuat nya makin marah dan frustasi apalagi istri yang sangat di sayanginya ( Ratu Maduretno ) tiba-tiba saja meninggal dunia.


Suasana makin panas dan makin tidak kondusif karena makin banyak penduduk pesisir yang mengungsi ke wilayah keraton, karena menghindari kerja paksa / rodi membuat jalan raya trans Jawa yang di arsiteki oleh Daendels.

Sekitar 12000 orang Jawa tewas dalam kerja paksa itu, dan hampir sepertiga nya tewas untuk jalur yang dipantai Utara saja.


Melihat sendiri kesulitan para pejabatnya dan rakyat nya, sultan memanggil Raden Ronggo untuk datang ke Jogja dengan seluruh pasukannya tetapi harus menyamar dan datangnya jangan bergerombol. Dengan alasan persiapan Gerebeg puoso.

Walaupun sebenarnya ini adalah persiapan Jogja dalam rangka memperkuat pertahanan nya.

Dan meninggikan tembok benteng 5 sampai 6 meter, juga sudut-sudutnya, serta mengecor meriam-meriam baru di Gresik, dan membuat persenjataan baru / senapan / bedil + bayonet nya, di Kotagede.

( Loew & de Klerck 1894-1909, II : 283 ).


Entah bagaimana semua persiapan itu sebagian ada yang sampai ke telinga Daendels, sehingga dia bereaksi dengan mengangkat seorang residen baru yang tegas dan keras, yaitu Johannes Wilhelmus Moorrees. Pada tgl 9 Maret 1810. Yang pernah bertugas di Banten setelah kesultanan Banten di hapus.

Belum lama menempati posisi nya di Jogja tiba -tiba ada serangan di Wonodadi sebuah desa di Pekalongan. Issuenya Peristiwa serangan dan perampokan Loji Belanda ini digerakkan oleh seseorang dari Jogja. Tepat nya dari desa Tersono di wilayah Kedu.

Deandels segera memerintahkan untuk menangkap pemimpin perampokan ini.


Besok : siapakah dalangnya, apa akibatnya ?

Gambar : Daendels sedang inspeksi pekerja rodi jalan raya pos Anyer - Panarukan.

0 komentar:

Posting Komentar