DIPONEGORO PAHLAWAN GOA SELARONG.
Bagian 4.
Oleh: Anggoro Ruwanto
LELONO.
Diponegoro merasakan beratnya persoalan keraton Jogja dimana intrik diantara para pengeran, diantara para selir, dan diantara para pejabat istana, juga perebutan pengaruh pada pejabat Residen Belanda dan Inggris, pasti akan merembet ke wilayah nya dan akan mengusik damai sejahtera rakyatnya.
Oleh sebab itu Diponegoro mengambil tekad untuk memulai Lelono ( pengembaraan untuk mendapatkan kebijaksanaan yang lebih dan menemukan kematangan spiritual oleh semua kesengsaraan yang dialami dan menemukan bimbingan dari guru rohani ).
PERSIAPAN.
Awal musim kemarau dibulan Mei - Oktober Diponegoro mulai mempersiapkan diri.
- Pertama-tama : dalam lingkup kecil keluarga dan santri dia mengadakan ritual / slametan sederhana, dan minta didoakan dalam - perjalanan Lelono nya supaya lancar,
- Kedua : mengganti namanya menjadi Syekh Ngabdurahim, untuk perjalanan Lelono ini. Nama ini diusulkan oleh Syekh Al Anshari penasehat spiritual nya.
- Ketiga : memotong rambutnya, tidak lagi menggelung rambut panjangnya seperti adat nya ningrat Jawa.
- Ke empat : mengganti pakaian / busananya dengan pakaian santri rendahan, yaitu kain sarung kasar, baju luar putih lengan panjang tanpa kancing, baju dalam model Koko. Dan sorban putih memulas kepalanya.
LELONO.
Pagi-pagi buta sebelum adzan subuh berkumandang Diponegoro sudah melangkah jauh dari Tegalrejo. Kearah selatan... Dimulailah pengembaraan nya dengan kunjungan ke pesantren-pesantren dan berguru pada para kiai dan alim ulama wilayah Gading, Grojogan, Sewon, Wonokromo, Jejeran, Turi, Pulokadang, Kasongan dan Congkelan.
Di setiap pondok pesantren yang dia kunjungi dia berbaur dengan para santri dan mengerjakan apapun yang mereka kerjakan dan makan apapun yang mereka makan.
Anehnya walaupun sudah berusaha menyamar Serapi mungkin tetap saja para Kiai dan Alim ulama masih banyak yang mengenalnya.
Sehingga sikap hormat / kagum mereka kepadanya makin tinggi.
TIRAKAT.
Setelah berbulan-bulan berkelana / ngenger dari pesantren ke pesantren mulailah Diponegoro mengambil tekad yang lebih tinggi, yaitu mendekat kan diri pada para leluhurnya untuk mendapatkan sawab / urapan / curahan kesaktian mereka.
Jadi dia mulai menyepi dan bermeditasi di makam para sesepuh mataram juga di goa-goa tempat para leluhurnya pernah singgahi.
Penglihatan pertama Diponegoro terjadi di goa Song Kamal di wilayah dusun Jejeran sebelah selatan Jogja. Dimana Sunan Kalijogo sesepuh sembilan wali yang terkenal di Jawa. Mendatangi nya dalam rupa seorang laki-laki dengan wajah bersinar dan mengatakan kelak Diponegoro akan jadi raja. Dan ramalan nya yang penuh teka teki berbunyi demikian " Tidak ada yang lain, Engkau sendiri hanyalah sarana, namun itu tidak akan lama, hanya agar terbilang diantara para leluhur, Ngabdurahim kamu harus segera pulang " Setelah mengatakan demikian perlahan lahan penglihatan itu menghilang.
Diponegoro melanjutkan pengembaraannya ke Imogiri, di Bengkung di suatu tempat ditepi kolam yang terletak diujung tangga yang menuju ke makam-makam para raja-raja, ia bersemedi disitu selama seminggu, karena Diponegoro tahu persis bahwa disitulah kakek moyang nya, yaitu Sultan Agung sering menyepi, dimalam terakhir ada tanda merah darah sebesar piring yang melekat pada kelambu / tirai makam Sultan Agung..yang kemudian diterangkan oleh juru kunci Imogiri yang bernama Kiai Balad. Bahwa akan ada perang besar yang membuat Jawa banjir darah.
DIPANTAI SELATAN.
Diponegoro melanjutkan Lelono nya makin mengarah ke selatan, tujuannya jelas laut kidul, namun sebelum sampai sana dia menyempatkan diri dulu untuk bermeditasi di goa siluman tempat bersemayamnya roh halus Dewi Genowati wakil dari ratu pantai Selatan yaitu Nyai Roro kidul. lalu melanjutkan perjalanannya lagi dan bermeditasi beberapa malam di goa Surocolo di tepi kiri kali Opak di kecamatan Gamelan - Gunung kidul.
Namun dikedua gua itu Diponegoro tidak mendapatkan penglihatan atau wangsit apapun, sehingga dia melanjutkan perjalanan nya dengan melintasi gunung kidul dan masuk ke gua Langse, gua dibatu karang yang menjorok ke laut dan ombak-ombak ganas berdebur-debur menghamtam i dinding nya. Tidak ada jalan khusus untuk bisa masuk kesana kecuali merambat dan menuruni dinding gunung karang dengan sangat hati-hati supaya tidak terhempas kebawah dan dilumat ombak untuk kemudian dihantam-hantamkan ke karang-karang terjal dan tajam.
Disinilah Diponegoro memulai semedi pati Geni ( mematikan ego dan hawa nafsu ) setelah beberapa hari saat ke diri annya mulai mengendap dan mulai masuk ke pencerahan tiba-tiba dia dikunjungi oleh ratu pantai selatan, Nyai Roro kidul. Yang dimulai dengan suatu pancaran sinar yang sangat kuat... Namun karena Diponegoro saat itu masih hanyut / trance dalam semedinya, dan tidak dapat diganggu, maka Nyai Roro kidul pun mengundurkan diri, sambil berjanji kelak akan datang lagi pada waktu yang tepat.
Hal ini ditepati oleh Nyai Roro kidul berselang waktu 20 tahun kemudian. Saat Perang Jawa sedang pada puncaknya.
Dia datang disertai dua pengiringnya, yaitu Dewi Genowati roh penguasa Gua Langse dan Nyai Gadung melati, roh penguasa pantai Parangtritis, Saat Diponegoro sedang berkemah di Kamal, ditepi sungai Progo, kejadian sekitar pertengahan bulan Juli 1826.
Sang Ratu menawarkan bantuan kepada Diponegoro supaya bisa meraih kemenangan, tapi syaratnya Diponegoro harus meminta kepada Gusti Allah supaya Nyai Roro kidul bisa kembali sebagai manusia biasa.
Namun hal itu ditolak secara tegas oleh Diponegoro. Karena semua itu sudah digariskan oleh yang maha kuasa.
0 komentar:
Posting Komentar