Minggu, 11 Oktober 2020

Pangeran Diponegoro 8

 DIPONEGORO PAHLAWAN GOA SELARONG.

Bagian 8.

Oleh: Anggoro Ruwanto

RADEN TIRTOWIDJOJO.

Adalah kepala distrik ( Demang ) dusun Tersono. Saat peristiwa perampokan itu terjadi, para perampok bisa melarikan diri dan bersembunyi di pedukuhan nya. Hal ini membuat Sultan memanggil Raden Tirto Widjojo untuk dimintai keterangan, tapi Deandels menuntut supaya dihukum mati, tentu saja Sultan tidak mau melaksanakannya karena Raden Tirto Widjojo masih kerabat dekat istri kesayangannya yakni Ratu Kencono Wulan. Lalu sultan mengusulkan supaya dihukum buang saja, namun Deandels menolak, akhirnya Raden Tirto Widjojo diserahkan kepada residen Jogja dengan kedua tangan di rantai, yang lalu mengirim nya ke Semarang, tengah malam Raden Tirto Widjojo dibawa ke jalan pos yang baru selesai dibangun, dan disanalah dia dihabisi oleh regu tembak. Jasadnya yang terkoyak-koyak oleh peluru dibiarkan tergeletak dipinggir jalan Waleri, yang dua hari kemudian baru diketahui oleh pihak keluarga yang kemudian menjemput nya dan memakam kannya secara Islam-jawa. ( Poensen 1905:148-9)


RADEN RONGGO.

Daendels menjadikan kematian Demang Tersono sebagai peringatan bagi siapa saja yang berani mengusik keberadaan Kompeni. Namun hal ini sudah terlambat, justru malah mempersatukan berbagai kelompok penentang menjadi satu visi mengenyahkan Belanda dan satu gerakan bersama.

Setelah Raden Ronggo mulai sembuh dari rasa duka Karena wafatnya Ratu Maduretno yang meninggal saat melahirkan.

Tiba-tiba saja ia dituduh dalang dibalik kerusuhan dan penyerangan markas kompeni di Ponorogo pada 31 Januari 1810. Yang menewaskan dua orang serdadu kompeni dan satu orang luka-luka.

Kesempatan ini dipakai oleh raja Surakarta, Pakubuwana IV, untuk memfitnah Raden Ronggo dengan mengirimkan pengaduan resmi kepada Daendels.

Bahkan pejabat Surakarta di Ponorogo, yaitu Tumenggung Wiryodiningrat, menambahkan dengan fitnahan bahwa Raden Ronggo ini sudah menampung seorang pelarian / desertir serdadu Belanda dirumahnya, dan juga menjadi penadah barang-barang curian berupa gamelan yang dirampok dari daerah sekitar Surakarta.

Daendels lalu memerintahkan sultan Jogja untuk menghukum Raden Ronggo, apabila tidak dilaksanakan maka akan menghadapi resiko diperangi oleh Belanda dan Surakarta.

Namun ada suatu kejadian entah direncanakan siapa ? Yang membuat keadaan politik Jogja menjadi seimbang. Yaitu saat residen Jogja Moorees berangkat ke Semarang untuk bertemu Deandels dan membuat laporan masalah-masalah kriminal diwilayahnya, istrinya ( Yacoba Margaretha ) berjalan-jalan ke padesaan dengan kereta kuda nya, namun di sandera oleh sekelompok orang bersenjata, yang kabarnya bertindak atas nama Sultan.

Hal ini membuat Daendels tidak berkutik, akhirnya kemarahan nya ditimpakan kepada Moorees dengan memecatnya.


Tgl 1 September 1810.

Pieter Engelhard kembali menduduki jabatannya yang lama sebagai residen Jogja. Kedatangan Engelhard membuat suasana Jogja kembali tenang.

Namun pada tgl 11 September 1810 terjadi perampokan besar-besaran terhadap seorang Tionghoa yang menjabat sebagai pemungut pajak petani di Demak.

Kawanan perampok ini datang dari desa Gabus, Grobogan - Wirosari, Jogjakarta. Yang berhasil dirampok adalah opium, uang tunai,dan perhiasan seluruhnya senilai 10.000 dollar Spanyol, atau 1 juta dollar US Sekarang. Daendels sangat marah sekali, karena baik Sultan maupun Raden Ronggo tidak mengambil tindakan sama sekali. Lalu Daendels mengultimatum Sultan supaya mengembalikan semua rampokan itu, dan diberi waktu 15 hari. Jika tidak dilaksanakan maka Jogja akan diserang tentara Belanda.

Atas ancaman ini sultan Jogja tidak terlalu menanggapi.

Pada awal bulan puasa Raden Ronggo berangkat pulang ke Madiun bersama rombongannya. Lalu memperkuat benteng Maospati dengan bambu-bambu runcing dan meriam-meriam. Juga ada korespondensi aktif antara dirinya dengan Pangeran Prangwedono alias Mangkunegara II. Dan ada kesepakatan bahwa apabila pasukan Mangkunegara II disuruh menyerang pasukan Raden Ronggo, maka mereka tidak akan memakai peluru tajam.

" Maka bertumpuk-tumpuklah, kesalahan Raden Ronggo Dimata Belanda" catatan Diponegoro di babad Diponegoro 11:50. hlm 114-5.

Tgl 30 Oktober 1810 pada waktu perayaan gerebeg puwoso, ketegangan hubungan antara Sultan dan residen Engelhard sampai pada puncaknya. Ditambah ambisi adiknya, yaitu Pakualam I ( Pangeran Natakusuma ) yang ingin menyatukan Surakarta dan Yogyakarta dengan memohon bantuan Belanda, juga tuduhan Daendels bahwa istri kesayangannya Ratu Kencono Wulan, bersekongkol dengan Raden Ronggo untuk melakukan Pemberontakan.

Daendels kemudian mengultimatum sultan supaya menyerahkan Raden Ronggo ke Batavia, sambil menggerakkan 2000 serdadu Belanda dari Semarang ke Jogja dibawah pimpinan kolonel Von Winckelmann. Saat serdadu Belanda sampai Boyolali, Sultan yang gentar terpaksa melepaskan Raden Ronggo untuk berangkat ke Batavia.

Dalam hal ini Diponegoro mencatat nya sebagai kritik atas kelemahan dan ketidak tegasan Sultan mempertahankan Raden Ronggo, yang menyebabkan kehancuran Jogja ( babad Diponegoro II : 52 )

Engelhard kemudian mengirim surat kepada panglima divisi Semarang supaya menarik pasukannya, disertai pepatah latin " Nulla salus bello, pax optima rerum " ( tidak ada keselamatan dalam perang, perdamaian adalah yang terbaik ).


Namun betapa terkejutnya Engelhard saat diberi tahu bahwa Raden Ronggo bukannya berangkat ke Batavia tetapi dia dan 300  rombongannya malah berangkat ke Madiun. Segera Engelhard memerintahkan Mangkunegara II untuk mencegat rombongan itu, namun terlambat mereka sudah melewati Delanggu.

Dalam keadaan terjepit antara dirinya, Raden Ronggo, dan Belanda, Sultan Hamengkubuwono II mengerahkan pasukannya sebanyak 1000 orang untuk memburu Raden Ronggo dibawah pimpinan iparnya, Raden Tumenggung Purwodipuro. Dengan perintah " bunuh ditempat apabila menolak kembali ke Jogja " namun kemudian ada perintah susulan untuk membunuh Raden Ronggo dimanapun ditangkapnya, karena Sultan akan malu apabila dibawa kembali ke Jogja.


Dalam hal ini Diponegoro mencatat " Sultan telah melanggar perjanjian suci antara ayah Hamengkubuwana II yaitu sunan Mangkubumi, dengan kakek Pangeran Ronggo yaitu Ronggo Wirosentiko, yang bunyinya : bahwa Sultan dan keturunannya tidak akan pernah menumpahkan darah keturunan Ronggo Wirosentiko walaupun ada kesalahannya. Sultan akan selalu mengampuni.: Dan hal inilah yang akan menyebabkan keruntuhan Jogja. ( Babad Diponegoro II : 57 )


Raden Ronggo rupa-rupanya sudah mempersiapkan Pemberontakan nya ini jauh-jauh hari sebelumnya.

1. Memperkuat benteng di Maospati.

2. Menjalin kontak dengan para Bupati bawahnya.

3. Mengikat perjanjian dengan Mangkunegara II

4. Mengumpulkan uang tunai untuk dana peperangan.

5. Membeli senjata dan membuat meriam-meriam baru.

6. Mendapatkan pinjaman uang dan perhiasan dari Ratu Kencono Wulan senilai 20.000 ronde real ( sekitar dua juta dollar US Sekarang )

7. Dan dana 800 dollar Spanyol dari seorang pedagang textile Prancis.

8. Menjalin hubungan yang erat dengan pendekar-pendekar dan komunitas Tionghoa di Lasem, Tuban dan Sidayu pantai Utara.


Misi dari Raden Ronggo adalah " membersihkan pulau Jawa dari pencemaran kekuatan-kekuatan asing "


Besok : Pemberontakan Raden Ronggo.

Gambar : Raden Ronggo.

0 komentar:

Posting Komentar