Minggu, 11 Oktober 2020

Geger Pecinan

Geger Pecinan: Gubernur jenderal Adriaan Valckenier, Ni Hoe Kong dan Gubernur jenderal Gustaaf Willem van Imhoff.

Oleh: Anggoro Ruwanto

Geger Pecinan (juga dikenal sebagai Tragedi Angke; dalam bahasa Belanda: Chinezenmoord, yang berarti "Pembantaian orang Tionghoa") merupakan sebuah pogrom ( genosida - pembantaian / pemusnahan massal terhadap etnis / suku  keturunan Tionghoa ) di kota pelabuhan Batavia, Hindia Belanda (sekarang Jakarta). Kekerasan dalam batas kota berlangsung dari 9 Oktober hingga 22 Oktober 1740, dilanjutkan pertempuran kecil hingga akhir November tahun yang sama. Namun pertempuran yang lebih besar merambat hampir di seluruh pulau Jawa.


Pihak terlibat : 

1. Pasukan Hindia Belanda, 

2. Berrbagai kelompok pribumi dan budak

3. Orang keturunan Tionghoa


Latar belakang :

Pada periode awal kolonialisasi Hindia Belanda oleh Belanda, banyak orang keturunan Tionghoa didatangkan dari Tiongkok untuk dijadikan tukang dalam pembangunan kota Batavia,  buruh / mandor diperkebunan tebu, pabrik-pabrik gula, pertambangan, mandor pembangunan jalan, irigasi, penarik pajak dll.  Banyak juga yang berdagang keliling, serta pemilik toko.Perdagangan antara Hindia Belanda dan Tiongkok, yang berpusat di Batavia, menguatkan ekonomi dan meningkatkan imigrasi orang Tionghoa ke Jawa. Jumlah orang Tionghoa di Batavia meningkat pesat, sehingga pada tahun 1740 ada lebih dari 10.000 orang yang tinggal di dalam benteng. Ribuan lagi tinggal di daerah pinggiran. 


Sebagai akibat penurunan harga gula di pasar dunia, dikarenakan meningkatnya ekspor ke Eropa, industri gula di Hindia Belanda merugi. Hingga tahun 1740, harga gula di pasar global sudah separuh dari harga pada tahun 1720. Karena gula menjadi salah satu ekspor utama Hindia Belanda, negara jajahan itu mengalami kesulitan finansial. 

Ditambah pada dasawarsa 1740-an, timbul epidemik malaria yang membunuh ribuan orang, termasuk Gubernur Jenderal Dirk van Cloon. Epidemik malaria ini dijadikan bahan issue oleh pihak Belanda untuk mendiskreditkan orang-orang Tionghoa. Karena :

1. Saat di Eropa harga gula sedang jatuh, dan VOC hampir pailit justru orang-orang Tionghoa makin kaya. Karena banyak pejabat VOC yang terlilit hutang dan usahawan Belanda yang berhutang dan tidak mampu melunasi hutangnya terpaksa menjual mereka punya pabrik dan perkebunannya kepada para Taoke ( orang Tionghoa kaya yang makin kaya ). Walaupun Belanda yang menentukan harga gula tapi distribusi nya dikuasai para Taoke. Selain itu mereka juga kaya dari memperdagangkan dan memproduksi ciu / arak yang dibuat dari tetes tebu dan beras.

2. Disebarkan issue bahwa epidemi malaria ini disebarkan oleh para orang Tionghoa pendatang untuk memusnahkan penduduk pribumi di kota Batavia sehingga kota Batavia hanya di huni oleh etnis mereka saja.

3. Pertambahan penduduk Tionghoa yang demikian pesat juga menyebabkan kecemasan tersendiri bagi Belanda, karena mereka bisa menguasai perekonomian, dan ikatan sosial yang kuat diantara mereka menyebabkan mereka lebih tunduk pada hukum / aturan yang ditetapkan oleh para Laopan ( orang-orang terhormat secara jabatan dan kekayaan ). Daripada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda.


Akibatnya, Komisaris Urusan Orang Pribumi Roy Ferdinand, di bawah perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, memutuskan pada tanggal 25 Juli 1740 bahwa :

1. warga keturunan Tionghoa yang mencurigakan akan dideportasi ke Ceylon ( Sri Lanka) dan dipaksa menjadi buruh di perkebunan kayu manis.

2. Warga keturunan Tionghoa yang kaya diperas pejabat Belanda, dengan ancaman mereka akan di deportasi.


Thomas Stamford Raffles, seorang penjelajah asal Inggris dan ahli sejarah pulau Jawa, mencatat bahwa orang Belanda diberi tahu Kapitan Cina (pemimpin etnis Tionghoa yang ditentukan Belanda) untuk Batavia, Ni Hoe Kong, agar mendeportasikan semua orang Tionghoa berpakaian hitam atau biru, sebab merekalah yang miskin.

Ada pula desas-desus bahwa orang yang dikirimkan ke Ceylon tidak pernah sampai ke sana, tetapi justru dibuang ke laut, atau dibunuh diatas kapal.

Ancaman deportasi dan semua berita-berita ini membuat orang Tionghoa miskin resah, sehingga banyak buruh Tionghoa meninggalkan pekerjaan mereka. Dan berkumpul dengan sesama mereka di pinggiran kota yang makin lama makin banyak, tanpa pekerjaan / penghasilan.

Hal ini juga membuat beberapa orang Tionghoa kaya didalam kota tidak tenang, mereka sudah mendengar berita tentang rencana pemberontakan ( walaupun belum jelas ) 


Untuk menanggapi keresahan tersebut, pada sebuah pertemuan Dewan Hindia (Raad van IndiĆ«), badan pemimpin Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Guberner-Jenderal Adriaan Valckenier membuat aturan yang ditetapkan pada tgl 7 Oktober 1740 : 

1. Bahwa kerusuhan apapun akan dihadapi dengan kekerasan mematikan. 

2.  Pasukan Belanda akan mengambil semua senjata apapun bentuknya dari setiap warga Tionghoa dan memberlakukan jam malam. 


Dua hari kemudian, kelompok etnis lain memanfaatkan situasi ini untuk menjarah, membakar dan merampok harta orang Tionghoa kaya di sepanjang Kali Besar. Dengan alasan memadamkan kerusuhan, pasukan Belanda menyerang rumah orang Tionghoa dengan meriam. Kekerasan ini dengan cepat menyebar di seluruh kota Batavia karena tidak adanya perlindungan hukum dari pihak Belanda maka mereka minta perlindungan hukum pada kelompok Tionghoa pengangguran yang selama ini selalu di diskreditkan oleh Belanda.


Walaupun mereka melawan tetapi menghadapi pasukan VOC yang persenjataannya lebih lengkap dan dibantu pasukan-pasukan pribumi.  banyak orang Tionghoa dibunuh. Meski Valckenier mengumumkan bahwa ada pengampunan untuk orang Tionghoa pada tanggal 11 Oktober, kelompok pasukan campuran ini tetap terus memburu, merampok dan membunuh orang Tionghoa hingga tanggal 22 Oktober, saat Valckenier dengan tegas menyatakan bahwa pembunuhan harus dihentikan. 

Di luar batas kota, pasukan Belanda terus menyerang markas Tionghoa di berbagai pabrik gula. Orang Tionghoa yang selamat mengungsi ke Bekasi.


Diperkirakan bahwa lebih dari 10.000 orang keturunan Tionghoa dibantai. Jumlah orang yang selamat tidak pasti; ada dugaan dari 600 sampai 3.000 yang selamat. Pada tahun berikutnya, terjadi berbagai pembantaian di seluruh pulau Jawa. Hal ini memicu suatu perang selama dua tahun, dengan tentara gabungan Tionghoa dan Jawa melawan pasukan Belanda. ( Lihat dipostingan saya : AMANGKURAT V: Mas Garendi. / Sunan Kuning, Tan He Tik, Tan Sin Ko dan Kapitan Souw Phan Xiang.

Setelah itu, Valckenier dipanggil kembali ke Belanda dan dituntut atas keterlibatannya dalam pembantaian ini; Gustaaf Willem van Imhoff menggantikannya sebagai Gubernur Jendral


Sunting : 

1. Chen Huang Er Xian Sheng

Perang Jawa (1741–1743)

2. Ze Hai Zhen Ren.

Diskriminasi terhadap Tionghoa-Indonesia

Kerusuhan Mei 1998

3. Vermeulen, Johannes Theodorus (1938). De Chineezen te Batavia en de troebelen van 1740. Leiden: Proefschrift.

0 komentar:

Posting Komentar