Senin, 12 Oktober 2020

Pangeran Diponegoro 9

 DIPONEGORO PAHLAWAN GOA SELARONG.

Bagian 9. PERGERAKAN RADEN RONGGO.

Oleh: Anggoro Ruwanto

Dukungan kepada Raden Ronggo juga didapatkan dari para pangeran dan penguasa di Jawa tengah bagian selatan, termasuk Pangeran Natakusuma dan anaknya Notodiningrat, yang setelah ketahuan oleh Residen jogja, segera rumahnya dikawal ketat pasukan Belanda, dan kemudian mereka dikirim ke Batavia pada tanggal 17 Desember, kemudian mereka ditahan dibenteng Meester Cornelis ( sekarang Jatinegara ) lalu dikirim lagi ke Cirebon untuk di eksekusi.


Daendels juga memerintahkan Residen Jogja Engelhard memenjarakan sultan Hamengkubuwono II dan Panglima nya Sumodimingrat.. tapi ditolak oleh Engelhard karena Sultan mau bekerjasama. Nyatanya Sultan sudah mengirimkan pasukan nya untuk menangkap Raden Ronggo.


Tetapi inilah yang terjadi di lapangan, pengejaran ini tidak membawa hasil, karena komandan pasukan pengejar ini, Purwodipuro, justru asik berdagang opium, candu dan pertukaran mata uang ( money changer ). Dan yang melanjutkan pengejaran adalah bekas kusirnya Sri Sultan, yaitu sersan Lucas Leberveld. Seorang peranakan indo german kelahiran Batavia. ( Bataviasche kolonialis courant 3, 18-1-1811 ).


Namun Pemberontakan Raden Ronggo ini banyak mengalami kekalahan karena Daendels memanfaatkan jalan pos yang dibangun nya untuk mempercepat pergerakan pasukan dan persediaan logistik.

Tanggal 2 Desember 1810 Daendels mengerahkan 3000 infanteri, 2 skuadron kavaleri dan dua kompi artileri yang ditarik kuda, yang tiba 4 hari kemudian di Semarang, sedangkan Daendels sendiri tiba lewat laut dan tiba di Semarang tgl 10 Desember. Yang dilanjutkan dengan pengejaran Raden Ronggo, yang makin terjepit karena para Bupati bawahannya setelah mendengar kehebatan pasukan Daendels tidak lagi mau mendukung.

Hanya tinggal Mas Tumenggung Sumonegoro dari Kadipaten Padangan yang masih mau mendukung nya.

Sepanjang perjalanan menuju kediamannya ( Maospati ) Raden Ronggo bersama pasukannya harus bertempur mati-matian tidak hanya harus melawan pasukan Belanda tapi juga melawan pasukan Keraton Jogjakarta, dan pasukan penguasa-penguasa pribumi yang jadi bawahan Sultan Hamengkubuwono II.

Sementara hujan lebat terus mengguyur, di Magetan panglima perangnya yang bernama Dasamuka, mati terbunuh.


Tgl 17 Desember 1810.

Dalam serangan penghabisan di tepi Bengawan solo, terjadi Pertempuran hebat antara senapan lawan senapan, pedang lawan pedang, bayonet lawan bayonet, juga keris tak ketinggalan. Pasukan Raden Ronggo terdesak, sehingga banyak anak buahnya yang melarikan diri masuk kehutan, tinggal menyisakan Raden Ronggo, wakilnya Sumonegoro, dan Patih nya Mas Ngabehi Puspodiwiryo, serta beberapa orang pembawa panji-panji.

Diantara suara desingan peluru dan dentingan pedang, seorang Bupati Jogja yang berada dipasukan Leberveld, berteriak kepada Raden Ronggo " apa yang dia inginkan " 

Dan dijawab oleh Raden Ronggo, bahwa ia tidak ingin menyusahkan siapa saja, tetapi ia akan membunuh siapa saja yang menjadi beban orang Jawa dan orang Tionghoa di mancanegara ( Jawa timur ). Selesai bicara Raden Ronggo melompat dari kudanya dan menyerang bupati itu dengan tombaknya, namun bupati itu berhasil mengelak bahkan bisa menancapkan pedangnya ke dada Raden Ronggo, kemudian Leberveld memerintahkan serdadu infanteri nya mengepung dan menghabisi Raden Ronggo, yang segera jatuh ke bumi dengan luka-luka tusukan dan sobekan pedang di sekujur tubuhnya. Nasib yang sama juga dialami oleh wakilnya, Sumonegoro yang segera dikeroyok pasukan infantri begitu jatuh kehabisan tenaga.

Mayat keduanya lalu dibersihkan di Bengawan solo, dibungkus dengan kain putih, lalu dibawa ke Jogja.


Tgl 21 Desember 1810.

Jenasah Raden Ronggo dan Sumonegoro digantung di perempatan pangurakan, dekat gardu, di alun-alun Utara. Atas perintah Sultan Hamengkubuwono II. Dimana biasanya jasad para kriminal dipertontonkan kepada rakyat. Sehari kemudian jasad mereka dimakamkan di pekuburan para penghianat - Banyusumurup, sebelah tenggara pemakaman Imogiri.

Dan Diponegoro menyaksikan semua peristiwa itu dengan penuh kepahitan, karena kakeknya ( Hamengkubuwana II ) menjadi penghianat bagi pahlawan yang sangat dikaguminya. Dan menurut nya, ini adalah dosa besar yang mengakibatkan runtuhnya kesultanan Jogjakarta. ( Babad Diponegoro II : 52 ).


Sebelum kematian Raden Ronggo, Daendels sudah memutuskan ia akan mengubah secara radikal wajah keraton Jogja, dan memberi isyarat kepada residen-residen Belanda, dan perdana menteri keraton-keraton dipesisir Utara, bahwa ia akan memaksa Sultan Hamengkubuwono II turun tahta dan menggantikannya dengan putera mahkota, yaitu Raden mas Sudjono ( ayah dari Pangeran Diponegoro yang pro Belanda - lihat postingan sebelumnya ).


Tgl 26 Desember 1810.

Daendels dengan pengawalan 3.200 serdadu, berderap ke Jogja, saat mereka sudah sampai gerbang Mataram lama di Kemloko, antara Tempel dan Pisangan, datang kabar gembira, yaitu kematian Raden Ronggo.

Daendels melanjutkan perjalanannya ke Jogja untuk membuktikan sendiri kabar itu dan ada kepentingan nya yang mendesak, yaitu menagih uang persahabatan dari Sultan Hamengkubuwono II untuk membayar para serdadu nya.


Uang persahabatan ini sangat besar tagihannya, wakil Deandels, Van Braam menerima 10.000 $ Spanyol. Pieter Engelhard dan Gustaf Willem Wiese masing-masing menerima 5000 $ Spanyol. Letnan jenderal Hendrik Markus de Kock, menerima 5000 $ Spanyol. Daendels sendiri pasti menerima jatah paling besar kurang lebih 20.000 $ Spanyol.


Tgl 28 Desember 1810.

Deandels tiba di Jogja, dan langsung menuju ke kediaman Residen Jogja Engelhard. Dan menyuruh seorang pegawai rendahan Belanda untuk memanggil Sultan. Suatu penghinaan yang luar biasa, Diponegoro dan Sumodimingrat yang amat tersinggung segera mempersiapkan pasukannya, tetapi sultan ragu-ragu dan banyak pertimbangan dalam mengambil keputusan. ( Babad Diponegoro II : 53 )


Besok : peralihan kekuasaan.

Gambar : Prasasti di makam Raden Ronggo. Berbunyi " KPAH RONGGO PRAWIRODIRDJO III ADIPATI MAOSPATI MADIUN KE III. Dihukum mati sebagai pemberontak melawan penjajahan Belanda dan dimakamkan di makam pemberontak Banyusumurup th. 1810.

Dinyatakan sebagai pejuang perintis melawan Belanda, oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX tahun 1957. Dan dimakamkan kembali di Giripurno, makam permaisuri nya, Puteri HB II. GBR Ay. Maduretno.

0 komentar:

Posting Komentar