DIPONEGORO PAHLAWAN GOA SELARONG.
Bagian 5. PULANG.
Oleh: Anggoro Ruwanto
Diponegoro kembali ke Tegalrejo pada pertengahan 1805 dan sudah nampak kewibawaannya. Dan dia sudah tahu persis takdir nya.
Namun yang terus memberatkan pemikiran nya ialah suara yang ia dengar pada kunjungan nya terakhir ke Parangkusumo, malam terakhir itu dia mendengar suara tentang bubrahnya tanah Jawa dalam tiga tahun kedepan.
AWAL RUNTUHNYA TATANAN TANAH JAWA.
Adalah ramalan yang disampaikan kepada Diponegoro dipantai Parangkusumo oleh suara gaib pada awal tahun 1805.
Dan hal ini mulai digenapi, karena genap tiga tahun kemudian, pada 5 Januari 1808, marsekal Herman Willem Daendels tiba di Batavia untuk menjabat sebagai Gubernur jenderal. Dan Deandels sudah mempunyai gambaran sendiri tentang wajah perpolitikan keraton-keraton di Jawa. Baginya kemandirian para raja-raja itu sangat membahayakan posisi Belanda, karena kekuatan dan pengaruh para raja-raja itu potensial menjadi saingan kerajaan Belanda, dan sikap mereka yang hipokrit / munafik / mencla-mencle / penjilat dan tidak bisa dipegang perkataannya itu bisa menjadi musuh dalam selimut.
Bahkan sebelum meninggalkan Belanda, Daendels sudah mempunyai prasangka buruk terhadap Sultan Hamengkubuwono. Hal ini dicatat oleh pejabat VOC yang bernama Nicolaus Engelhard " ia ingin membuat raja Jawa itu merasakan superioritas nya, dengan menggebuk nya pada kesempatan pertama " ( Engelhard 1816 : 257-8 )
PERUBAHAN YANG di buat DAENDELS :
1. Pada tgl 25 February 1805 diadakan pertemuan dengan seluruh pejabat Belanda yang menjabat residen, dan inilah pengarahan nya " Para Residen harus menegaskan kehadiran mereka, dengan jelas ( ongevoelige ) kepada raja-raja Jawa betapa megah dan berkesannya para pejabat Belanda dibawah pemerintahan Napoleon agung ( waktu ini Belanda sedang dijajah Perancis ) buat mereka ( raja-raja ) itu gentar dan hormat. " - Daendels 1814 : Bijlage 1, Organique wetten 6 article 5.
2. Memutuskan hubungan antara keraton-keraton Jawa dengan para pejabat bawahan nya yang ada di wilayah pesisir Utara.
3. Membuat garis batas baru sebagai cara menganeksasi / mencaplok wilayah kerajaan-kerajaan Jawa. Terutama wilayah pantai Utara.
4. Memberhentikan semua pejabat yang diangkat oleh raja-raja Jawa, dan mencopot semua kerabat-kerabatnya yang mempunyai jabatan strategis. Tetap mempertahankan para pejabat yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan para raja-raja Jawa.
5. Menganeksasi wilayah-wilayah lumbung beras sebagai suplai logistik garnisun-garnisun tentara Belanda wilayah selatan. Yaitu : Pajang, Mataram, Kedu, Bagelen, Banyumas, Nusa Kambangan dan Cilacap.
6. Menghapus posisi gubernur dan direktur pantai timur laut Jawa, sebagai perantara dia dan para residen. Dengan demikian para residen sekarang bertanggung jawab langsung kepada dirinya. ( Sentralisasi pemerintahan kolonial di Batavia ).
( Carey 1974 : 276-7. Houben 1994 : 54-7. Nagtegaal 1996 : 199-204 )
PEMBAHARUAN SEREMONIAL & ETIKET.
Pada 28 Juli 1808 Daendels mengumumkan secara resmi, maklumat tentang tata upacara / seremonial dan etiket :
1. Keputusan ini banyak sekali menghapus fungsi-fungsi seremonial yang selama ini diberlakukan oleh keraton kepada para Residen / pejabat kolonial. Yang oleh Daendels dianggap sangat merendahkan martabat para pejabat Belanda.
2. Mereka ( para residen / pejabat kolonial ) mendapat gelar baru " Menteri " dan wakil langsung kerajaan Belanda.
3. Mereka juga mendapatkan seragam baru, dan diharuskan memakai payung kebesaran kerajaan Belanda yang berwarna biru dan keemasan dan ada lambang nya kerajaan Belanda. Pada waktu menemui para raja-raja Jawa. ( Selama ini hanya para raja-raja Jawa yang boleh pakai payung kebesaran )
4. Tidak lagi boleh membungkuk saat bertemu dengan raja-raja Jawa, berikan salam secara jabat tangan.
5. Tidak usah menghentikan kereta kudanya apabila berpapasan dengan kereta kuda raja dijalan umum.
( Chijs 1895-7. XIV : 63-5 )
Maklumat Daendels ini efektif sekali menghancurkan hegemoni politik dan kekuasaan raja-raja Jawa. Dan memperkuat cengkeraman Belanda.
Diponegoro menanggapi maklumat dan sepak terjangnya Daendels dengan banyak bertukar pikiran dengan para pejabat keraton dan para Residen ( paling terjepit posisinya sekarang ini adalah para Residen, disatu sisi mereka sekarang ini adalah wakil resmi Pemerintahan pusat Belanda di Batavia, tetapi disatu sisi lain mereka sebenarnya adalah pembantu para Sultan yang bahkan kadang-kadang harus menuangkan wiski ke sloki para Sultan. )
Bagi Diponegoro, reformasi Daendels ini jelas sangat menyakitkan hati.
Reaksi Sultan Hamengkubuwono adalah merubah singgasana nya menjadi lebih tinggi pada waktu upacara-upacara kenegaraan. Sehingga sultan selalu mempunyai posisi lebih tinggi daripada Residen. Hal ini dirasakan langsung oleh Residen Surakarta, Van Braam yang menjabat 1808-10 -- 1811. Saat mengunjungi Jogja pada pertengahan Oktober 1808.
Dimana sultan tidak lagi mau bercakap-cakap dengan bahasa Melayu, dan pandangan matanya liar, yang menurutnya mengindikasikan rasa curiga dan takut. Van Braam lalu melaporkannya kepada Daendels di Batavia.
Ditanggapi Deandels sebagai usaha sultan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Belanda.
Maka dimulailah tahap baru konfrontasi Kasultanan Yogyakarta melawan gubernur jenderal Guntur / Daendels. Dimana semakin lama Jogja makin tidak tahan dengan ulah para pejabatnya.
MANUVER-MANUVER MILITER : JAWA & BELANDA.
Problem bagi Daendels adalah : dalam masa transisi ini VOC sedang mengalami kebangkrutan, dan ia mengalami kesulitan untuk menggaji para serdadu dan tentara bayaran nya, tentu saja ini merusak moral para militernya. Yang secara profesional tidak bisa diandalkan.
Yang disebut oleh seorang pejabat Belanda, Nicolaus Engelhard sebagai gerombolan yang dikumpulkan secara terburu-buru ( Carey 2008 : 175 ).
Dengan menjadikan pulau Jawa sebagai pusat pertahanan militer nya, maka Daendels harus menguras kas VOC sampai ke dasar nya.
Untuk itu dia berencana untuk mengadakan tour inspeksi ke wilayah Jawa tengah dan Jawa timur.
Tentu saja berita itu membuat gempar Keraton Jogjakarta yang sedang mengalami ketegangan hubungan dengan Belanda. Bahkan sultan sendiri langsung mengambil langkah-langkah militer dengan melatih kemampuan tenteranya juga mengadakan wajib militer ( prajurit arahan ) dari pemuda-pemuda wilayah timur.
Pada tanggal 1 Juni 1808.
Sultan memerintahkan setengah dari 10 ribu tentara nya yang kuat untuk ambil bagian dalam defile gelar pasukan besar-besaran, di Pesanggrahan nya yang terletak di sebelah timur Jogja yaitu Rojowinangun, Dan ayah Diponegoro ( yang kelak jadi Sultan Hamengkubuwono III ) didapuk menjadi komandan upacara dihadapan Residen Pieter Engelhard, dan dihadapan para pejabat Belanda yang mengabarkan akan kedatangan Daendels.
Parade besar-besaran ini merupakan show of force militer Jogja terakhir sebelum kelak dilucuti habis-habisan oleh Inggris pada 1812.
Memang Ini adalah hal yang tidak umum, karena selama ini seorang Gubernur biasanya hanya inspeksi sampai Semarang, atau paling jauh itu sampai Salatiga. Dan seorang gubernur tidak pernah mencampur i urusan internal keraton, biasanya gubernur jenderal akan mengutus kalau bukan residen ya perwakilan resmi pemerintah Belanda dari Batavia.
Hal ini dicatat dengan seksama oleh Diponegoro dalam serat babad Diponegoro 11 : 50.
- " Maka gubernur jenderal itu ( Daendels ) sampai di Jawa ( tengah.) "
- " Ia tiba di Surakarta terlebih dahulu, dan ingin terus ke Jogja, tetapi kanjeng Sultan tidak berkenan, sebab belum pernah terjadi di masa sebelumnya, bahwa seorang gubernur jenderal datang ke Jawa ( tengah ) kalaupun datang ke Jawa ( tengah ) mereka akan berhenti di Semarang atau paling jauh hanya sampai Salatiga "
Besok : Ketegangan & kegemparan menyambut Gubernur jenderal Willem Herman Daendels.
Gambar : Gubernur jenderal Willem Herman Daendels.
0 komentar:
Posting Komentar