Sabtu, 10 Oktober 2020

Amangkurat II

Amangkurat II

Hari-hari terakhir : Panembahan Giri, Pangeran Trunojoyo dan Kareong Galesong.

Oleh: Anggoro Ruwanto

Dalam bagian 5 sudah diceritakan bagaimana Adipati Anom alias Pangeran Tedjoningrat, alias Raden mas Rahmat. Mendapatkan kedudukannya sebagai raja Mataram di pengungsian karena kalah perang melawan pemberontakan Pangeran Trunojoyo cs.


Setelah kota Gede sebagai ibu kota Mataram ditinggalkan dan di pindah ke Plered tapi ternyata Plered digempur pemberontak walaupun Pangeran Puger ( Siapa kah Pangeran Puger akan saya jelaskan dalam kisah lanjutan ) sudah berusaha mati-matian mempertahankan nya, akhirnya Pangeran Puger bersama para pengikutnya melarikan diri ke desa Kajenar.


Mas Rahmat / Adipati Anom / Pangeran Tedjoningrat, Setelah pada bulan September 1677 menandatangani perjanjian dengan VOC yang diwakili Cornelis Speelman. Di Kadipaten Jepara, Diangkat sebagai raja tanpa istana dengan gelar Sunan Amangkurat II. Oleh Belanda.

Adapun isi perjanjian itu adalah :

Daerah-daerah pesisir utara Jawa mulai Kerawang sampai ujung timur di Panarukan digadaikan kepada VOC sebagai jaminan pembayaran atas biaya perang yang dikeluarkan oleh VOC saat melawan Trunajaya.


KEKALAHAN TRUNOJOYO :

Setelah Trunajaya dapat merebut keraton Mataram pada tanggal 28 Juni 1677 ia segera membawa berbagai pusaka kerajaan Mataram ke markasnya yang berada di Kediri. Sementara pasukan Makassar di bawah Karaeng Galesong bergerak menuju Bangil untuk membuat kubu pertahanan. 


Pada 5 September 1678 pasukan gabungan VOC dan Mataram bergerak menuju Kediri di bawah pimpinan Kapten Anthonie Hurd dan Sunan Amangkurat II. Pasukan ini bergerak dari Jepara melewati Grobogan, Grompol, Kajang, dan Madiun di mana pasukan Kapten Tack bergabung setelah menempuh perjalanan dari Keduwang dan Panaraga. Lalu pasukan bergerak ke Singkel untuk persiapan menyerang Kediri. Terjadi pertempuran sengit di Tukon dan dengan susah payah Singkel dapat dikuasai. Pasukan Kapten Tack di Grompol juga dihadang pasukan berkuda Trunajaya.


Pada 17 November 1678 pasukan Kompeni menyeberangi Sungai Brantas dengan dilindungi tembakan lima buah meriam. Beberapa hari kemudian (25 November 1678) barulah dilakukan serangan umum. Akhirnya karena kekuatan musuh jauh lebih besar Trunajaya terdesak dan berhasil menyingkir ke arah timur. Kediri berhasil dikuasai oleh VOC. Pusaka-pusaka keraton termasuk mahkota Majapahit jatuh ke tangan VOC dan diserahkan kembali kepada Sunan Amangkurat II pada 27 November 1678.


Setelah jatuhnya Kediri, Trunajaya menyingkir ke timur ke arah Blitar dan akhirnya menuju Malang. Saat kesulitan dalam mencari tempat pertahanan baru, Pangeran Trunajaya kehilangan 400 orang prajurit akibat penyakit dan kekurangan bahan makanan. Lebih-lebih lagi, pengiriman bahan bantuan berupa 8 perahu bahan makanan dari Madura untuk pasukan Trunajaya jatuh ke tangan musuh. Tekanan dan kepungan VOC kepada pasukan Trunajaya yang sudah makin melemah karena kekurangan bahan pangan dan serangan penyakit semakin berat. Beliau terpaksa membawa memutar pasukannya berpindah ke Batu. Dalam keadaan serba sulit, Trunajaya mendapat dukungan dari daerah-daerah seperti Kediri, Ponorogo dan Kertosono. Sebanyak 500 orang prajurit Madura dikirim melalui Wirasaba ke Malang untuk memperkuat barisan Trunajaya. Saat di Batu ini, istri Trunajaya meninggal dunia karena terserang penyakit, menyusul kemudian satu-satunya putra lelakinya juga wafat.


Dari Batu Trunajaya beserta pasukannya bergeser ke barat mengatur strategi pertahanan ke Ngantang. Sementara semakin lama jumlah kekuatan pasukan semakin berkurang, dikarenakan kekurangan bahan pangan dan serangan penyakit. Masih beruntung keadaan alam yang berupa pegunungan serta hutan rimba di Ngantang menghambat laju tekanan pasukan Kompeni.


KEKALAHAN KAREONG GALESONG :

Pasukan Karaeng Galesong membuat kubu pertahanan di Bangil dan Keper Krembung, sebelah utara Sungai Porong. Kemudian VOC meminta bantuan Arung Palakka dari Bone untuk menangkap Karaeng Galesong. Pada tanggal 23 Agustus 1679 pasukan gabungan Bugis dan Kompeni di bawah Jacob Couper berangkat dari Surabaya menuju ke Keper Krembung, markas pertahanan Karaeng Galesong. Pihak Kompeni memberi ultimatum kepada pasukan Keraeng Galesong untuk menyerah. Beberapa pemimpin pasukan Makassar memenuhi permintaan itu pada tanggal 30 Agustus di antaranya Daeng Tulolo. Mereka menyatakan akan bersedia untuk menyerah. Namun tidak ada tindak lanjut dari pertemuan tersebut. Akhirnya Kompeni memutuskan menyerang Keper Krembung, pada tanggal 8 September 1679 di bawah pimpinan Arung Palakka. Sebelumnya Kapten Joncker dan pasukan Ambonnya berusaha merebut Keper Krampung, namun gagal. Baru pada tanggal 21 Oktober 1679 Keper Krampung jatuh ke pasukan gabungan dalam pertempuran yang sengit dan banyak jatuh korban. Sementara pasukan Keraeng Galesong melarikan diri ke Batu untuk bergabung dengan mertuanya, Pangeran Trunajaya.

Serangan gabungan VOC kemudian ditujukan kepada pertahanan Trunajaya, yaitu yang berpusat di Batu. 

Dengan jalan perundingan, Van Vliet selaku komandan pasukan VOC, mencoba mengadakan perdamaian. Persetujuan akhirnya tercapai dengan ketentuan bahwa pasukan Makassar tidak akan menghalang-halangi pasukan VOC dalam melakukan serangan terhadap Trunajaya. Karaeng Galesong juga berjanji bersedia untuk dipulangkan ke Makassar. Setelah mendengar akan kejadian itu Trunajaya segera memindahkan Karaeng Galesong ke Ngantang. Namun sebelum adanya pengaturan yang pasti, Karaeng Galesong keburu meninggal karena sakit pada 21 November 1679. Karaeng Galesong kemudian dimakamkan di Desa Sumberagung, Kecamatan Ngantang sekarang. Oleh warga sekitar makam itu disebut sebagai Makam Mbah Rojo. Makam ini sekarang berokasi di sekitar 5 km dari objek Wisata Bendungan Selorejo.

Sebelum meninggal, Karaeng Galesong menunjuk putranya yang berusia sekitar 17 tahun, Karaeng Mamampang, sebagai penggantinya. Karaeng Mamampang mengikuti keinginan ayahnya dan membujuk pengikutnya untuk diberangkatkan ke Makassar. Sekitar 120 orang mengikuti perintahnya, tetapi sekitar 900 menolak dan tetap bergabung dengan Trunajaya. Hingga sekarang mereka beranak pinak di daerah Ngantang Batu - Malang.


HARI HARI TERAKHIR TRUNOJOYO :

HJacob Couper berusaha menghubungi Trunajaya dengan cara mengirim surat akan tetapi tidak berhasil. Akhirnya VOC memutuskan untuk mengadakan serangan ke Ngantang dengan mengirim pasukan VOC dan pasukan Arung Palakka. Di Kalisturan, di kaki pegunungan Batu, pasukan Arung Palakka menemukan 50 lelaki, wanita, dan anak-anak Makassar dalam keadaan kelaparan. Mereka mengatakan bahwa 300 lainnya berada di pegunungan namun tidak dapat turun menyerahkan diri karena jalan di Gunung Rarata (Ngrata) ditutup pasukan Trunajaya.


Esok paginya pasukan Arung Palakka merebut kubu pertahanan Trunajaya yang sedang dalam keadaan kekurangan di Rarata dengan serangan mendadak. Serangan yang amat mudah karena ratusan pengikut sedang dalam keadaan sakit dan kelaparan, sedangkan mereka yang masih sehat melarikan diri ke atas gunung. Pasukan Trunajaya mundur ke garis pertahanan kedua, yang berupa dua dinding bambu yang saling berhadapan dan dipisahkan oleh sungai kecil yang efektif menahan pergerakan naik atau turun gunung. Arung Palakka bersama sekelompok pasukan berputar mencari jalan untuk menyerang dari belakang. Sementara itu, kapten Belanda Van Vliet menuruni lembah gunung dengan pasukan Arung Palakka lainnya dan secara tiba-tiba menyerang dari atas, sehingga yang diserang pun lari berhamburan dengan menunggang kuda. Pasukan Arung Palakka mengejar mereka selama hampir dua jam dan tiba di sebuah perkampungan besar tempat pasukan Makassar dan Madura tinggal. 

Pasukan Belanda tiba setelahnya, tetapi sebelum serangan gabungan dilancarkan, hujan mulai turun dan kabut tebal pun datang dengan tiba-tiba. Ketika pasukan Arung Palakka dan VOC tiba di perkampungan tersebut, di Ngantang, pada hari berikutnya, mereka sudah melarikan diri kecuali empat bangsawan Makassar beserta 300 orang, wanita, dan anak-anak. Mereka memberi tahu Arung Palakka bahwa masih ada sekitar 1.500 orang Makassar, tidak termasuk wanita dan anak-anak, yang berada di bagian atas gunung.


Selanjutnya di sebuah gunung yang bernama Kunjangan pasukan koalisi VOC dan Arung Palakka melakukan pengepungan. Mereka berharap membuat orang Makassar dan Madura kelaparan dan keluar dari persembunyian. Belanda kemudian memberitahu orang-orang Makassar di perkemahan Trunajaya bahwa jika mereka menyerah akan diperlakukan dengan baik. Tapi jika menolak, akan dihancurkan. Sekitar 2.500 orang memutuskan untuk menerima tawaran ini dan turun dari kubu pertahanan di gunung pada tanggal 15 Desember 1679. Jumlah rombongan ini mengejutkan Belanda yang menganggap mereka beruntung karena orang-orang Makassar ini memutuskan menyerah daripada bertempur. Untuk penyegaran, Kapitan Jacob Couper digantikan oleh Kapitan Joncker sebagai komandan pasukan Kompeni. Lima hari kemudian pada 20 Desember 1679 beberapa ratus orang Madura dan Makassar, di antaranya para wanita dan beberapa ekor kuda turun dari lereng gunung menyerahkan diri, dan segera diterima pasukan Kompeni pimpinan Kapten Joncker.


Ditinggal sebagian besar pasukannya, Pangeran Trunajaya melarikan diri melalui hutan dengan semak berduri di belakang kubu pertahanan dan pergi ke Pugar. Selama hari-hari terakhir perlawanan Trunajaya hanya terdapat 25-30 orang Makassar dan Madura yang masih setia bersamanya. Dengan mengorek keterangan dari orang Makassar yang tertawan, Kapitan Joncker berhasil mengepung Trunajaya di Gunung Limbangan (di lereng utara Gunung Kelud) di mana dia beserta barisannya hendak bertahan terakhir. Sunan Amangkurat II pun bergerak mendekati tempat itu dan menghendaki agar setelah Trunajaya ditangkap diserahkan kepadanya. Dalam keadaan sangat terjepit, Trunajaya mengirimkan utusan tiga kali, akan tetapi waktu sudah lewat untuk mengadakan perundingan. Terkepung dari segala penjuru dan bahaya kelaparan sangat melemahkan moral barisan yang kira-kira masih terdiri atas 30 orang itu. Tidak ada jalan lain daripada menyerah. Akhirnya Pangeran Trunajaya menyuruh pengikutnya mengumpulkan tombak dan kerisnya. Setelah terkumpul lalu Pangeran Trunajaya beserta pengikutnya menyerah kepada Kapten Joncker. Terlebih dulu dikirim para wanita dan abdi biasa, baru kemudian Pangeran Trunajaya beserta pengikutnya, antara lain Pangeran Mugatsari, Bupati Anggakusuma, Ngabehi Wiradersana, dan pasukan Makassar. Pangeran Trunajaya dan pasukan pengikutnya menyerahkan diri pada tanggal 26 Desember 1679. Kedua tangan beliau diikat dengan cinde / selendang sutera. Kemudian ada isue yang berkembang bahwa saat menjadi tawanan VOC, Pangeran Trunajaya masih mempunyai rencana mengadakan perlawanan, maka dari itu Amangkurat II menuntut supaya dia segera diserahkan kepadanya. Karena Amangkurat 2 sudah bersumpah bahwa, keris Kyai Balabar tidak akan pernah masuk kesarungnya sebelum dipakai untuk menusuk dada Pangeran Trunajaya. Pada tanggal 2 Januari 1680.Di sekitar tapal batas Kediri, VOC menyerahkan Pangeran Trunojoyo dalam keadaan kedua tangannya terbelenggu dibelakang.


Sunan Amangkurat II menghukum mati Trunojoyo di Balairungnya Payak, Bantul. Proses kematiannya konon dikisahkan sangat tragis. Ia ditusuk oleh Amangkurat II menggunakan keris Kyai Balabar hingga tembus kepunggungnya.

Lalu dalam keadaan masih hidup, dadanya dikoyak lalu jantung nya dipotong-potong dan dimakan oleh Sunan Amangkurat II. Dan para selirnya.

Juga atas perintah Amangkurat II, hati Trunojoyo dikeluarkan, dicabik-cabik lantas harus dimakan mentah-mentah oleh para petinggi keraton. Setelah itu lehernya dipenggal, badannya yang sudah tanpa kepala dipakai untuk membersihkan kaki / kesed, abdi dalem dan pelayan keraton. Tak cukup sampai disitu, kepala Pangeran Trunojoyo kemudian ditumbuk sampai hancur di lumpang batu.


KEKALAHAN PANEMBAHAN GIRI :

Giri Kedaton yang sudah menjadi bawahan Mataram dibawah panembahan Giri ikut memberontak ( silahkan baca di bagian 5 ) lalu Sunan Amangkurat II datang ke wilayah Kadilangu untuk menemui Panembahan Natapraja salah satu sosok sesepuh keturunan Sunan Kalijaga yang dianggap bijaksana dan sangat sakti serta memiliki kecerdasan dan pasukan yang siap membantu Amangkurat II. Menggempur Sekutu Trunojoyo yang bertahan paling akhir yaitu, Giri Kedaton yang masih mempunyai kekuatann cukup besar. 

Pada bulan April 1680 terjadi serangan besar-besaran terhadap Giri dilancarkan oleh Panembahan Natapraja dari Adilangu dan juga didukung oleh VOC–Belanda yang membantu Amangkurat II. Panglima perang dan murid terbaik andalan Giri yang menjadi ujung tombak para prajurit Giri bernama Pangeran Singosari (Senopati Singosekar) yang terkenal tangguh dan kebal terhadap senjata api dan senjata tajam akhirnya gugur dalam peperangan setelah berduel satu lawan satu melawan Panembahan Natapraja. jumlah Pasukan Adilangu (pasukan Natapraja) hanya sedikit namun dapat memporak porandakan pasukan Giri kedaton.


Panembahan Ageng Giri ditangkap dan dihukum mati, Amangkurat II mengikat tubuhnya ditunggul pohon asem, dalam keadaan setengah telanjang, lalu dicambuk i menggunakan cambuk kulit yang berkait seperti mata pancing, sehingga daging nya terkoyak koyak, Tidak hanya itu, anggota keluarganya juga dimusnahkan. Sejak saat itu berakhirlah riwayat Giri Kedaton.


MEMBANGUN ISTANA KARTASURA. 

Pada bulan September 1680 ( 6 bulan sejak hukuman untuk panembahan Giri dijatuhkan ) Amangkurat II membangun istana baru di hutan Wanakarta karena istananya yang lama di Plered telah dibangun kembali oleh adiknya dan diduduki Pangeran Puger. Istana baru tersebut bernama Kartasura.

Amangkurat II naik takhta atas bantuan VOC dengan hutang atas biaya perang sebesar 2,5 juta gulden.

Sri Susuhunan Amangkurat II adalah pendiri sekaligus raja pertama Kasunanan Kartasura.

sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram, yang memerintah tahun 1677-1703.

Ia merupakan raja Jawa pertama yang memakai pakaian dinas ala Eropa sehingga rakyat memanggilnya dengan sebutan Sunan Amral, yaitu ejaan Jawa untuk Admiral.

Amangkurat II akhirnya meninggal dunia tahun 1703. Sepeninggalnya, terjadi perebutan takhta Kartasura antara putranya, yaitu Amangkurat III melawan adiknya, yaitu Pangeran Puger.


Rujukan Sunting  :

1. Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi

2. H.J.de Graaf. 1989. Terbunuhnya Kapten Tack, Kemelut di Kartasura Abad XVII (terj.). Jakarta: Temprint

3. M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

4. Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius

5. Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

6. J. Ras.1993. Geschiedschrijving en de legitimiteit van het koningschap op Java In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 150 (1994), no: 3, Leiden, 518-538

0 komentar:

Posting Komentar