Minggu, 11 Oktober 2020

Hamengkubuwono II

Hamengkubuwono ( Seri Amangkurat ): Geger SEPEHI.

Oleh: Anggoro Ruwanto

Kurun waktu 1808 hingga 1812 adalah tahun-tahun yang mengubah wajah Yogyakarta. “Revolusi Peperangan era Napoleon”. Berkecamuk nya peperangan di Eropa ini, membuat perubahan juga di salah satu kerajaan Jawa yang ada di masa itu, Kesultanan Yogyakarta. Setelah Kerajaan Belanda jatuh ke tangan Prancis, Bataafsche Republiek yang berkuasa di Nusantara diganti dengan Koninkrijk Holland di bawah pimpinan Raja Louis Napoleon Bonaparte ( Perancis )


Maka Napoleon mencari orang yang cakap untuk menjadi Gubernur Jendral di Jawa, dan jatuhlah pilihannya pada Daendels. Tugasnya adalah mempertahankan Pulau Jawa agar tidak jatuh ke tangan Inggris.


Dari keputusan kebijakan Daendels, efek yang paling dirasakan oleh penduduk adalah hak-hak mereka. Tanah-tanah pertanian, perkebunan, dan tanah pribadi, diambil alih pemerintah kolonial, kemudian disewakan ke partikelir-partikelir lokal, sehingga akhirnya rakyat berubah status menjadi buruh tani, buruh industri, maupun buruh perkebunan.


Sri Sultan Hamengku Buwono II (1792-1810; 1811-1812; 1826-1828) menentang aturan-aturan baru yang diterapkan oleh Daendels. Penentangan ini dijawab dengan mengirim pasukan Belanda ke Yogyakarta, mengalahkan Sri Sultan Hamengku Buwono II untuk menyerahkan kekuasaan pada Putra Mahkota. Meski demikian, Sri Sultan Hamengku Buwono II yang kemudian disebut sebagai Sultan Sepuh, masih tinggal di keraton dan memegang segel kerajaan.


Pada bulan Mei 1811, Daendels digantikan posisinya sebagai Gubernur Jendral oleh Jan Willem Jansens. 

Pada tanggal 4 Agustus 1811, balatentara Inggris menyerbu Batavia. Jawa akhirnya jatuh ke tangan Inggris.

Pulau Jawa menjadi bagian dari koloni Inggris yang berpusat di Kalkuta. Gubernur Jendral Inggris di Kalkuta, Lord Minto, kemudian menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur di Jawa. Melihat perubahan ini, Sultan Sepuh ( Hamengkubuwono II ) menggunakan kesempatan ini untuk mengambil alih kembali kerajaan.


Raffles pun kemudian segera membuat kebijakan-kebijakan baru dan pada bulan November 1811 menunjuk John Crawfurd sebagai Residen Yogyakarta. Kebijakan Raffles terkait pertanahan dan pengelolaan keuangan, tidak berbeda jauh dengan Daendels, Hal ini membuat Sri Sultan Hamengku Buwono II tidak berkenan. Sikap penentangan mulai muncul, bahkan ia menghimpun kekuatan secara terang-terangan. Raffles melihat hal tersebut sebagai ancaman, dan kemudian mengirim pasukan di bawah pimpinan Kolonel Robert Rollo Gillespie menyerang Yogyakarta.


JATUHNYA KERATON YOGYAKARTA.


Pada tanggal 17 Juni 1811 malam, pasukan Inggris menuju Yogyakarta. Namun pasukan Yogyakarta berhasil melukai dan membunuh beberapa bala tentara Inggris.


Raffles kemudian mengirim delegasi ke Sri Sultan Hamengku Buwono II untuk berunding, namun demikian komisi tersebut ditolak. Hal ini memicu api peperangan. Tembakan meriam terdengar dari arah Keraton Yogyakarta, menandakan sikap tidak mau kompromi dari Sri Sultan Hamengku Buwono II.


Situasi Pertempuran : prajurit keraton jogjakarta bertahan didalam benteng pertahanan yang kokoh. Di sekitar kraton terdapat parit-parit lebar dan dalam, dengan jembatan yang bisa diangkat sebagai pintu masuknya. Tersedia pula beberapa bastion ( Bagian benteng yang sedikit menjorok kedepan ) tebal yang dilengkapi dengan meriam. Pintu utama menuju kraton juga dilengkapi dengan dua baris meriam. sebanyak 17.000 prajurit dan warga yang tersebar di kampung-kampung, mempertahankan wilayah Yogyakarta.

Sengitnya pertempuran antara Kerajaan Inggris dan Kasultanan Yogyakarta pada Jumat-Sabtu, 19 dan 20 Juni 1812, dicatat oleh seorang serdadu Inggris, Kapten William Thorn ( menulis penaklukan Inggris ke Jawa dalam Memoir of The Conquest of Java yang terbit pada 1815 di London.)

Kapten Williams Thorn melukiskan keadaan pertahanan Keraton Yogyakarta. “Kraton atau kediaman Sultan Mataram,” demikian tulisnya, “dikelilingi oleh parit basah nan lebar dengan jembatan jungkit; dinding benteng yang tebal dan kokoh dengan bastion [pojok benteng yang menjorok] dan diperkuat dengan seratus meriam.”Dalam pertempuran dua hari itu Inggris berkekuatan sekitar 1.000 serdadu berseragam merah, yang terdiri atas serdadu asal sepoy India dan serdadu Eropa. Jumlah itu masih ditambah 500 prajurit Legiun Pangeran Prangwedono asal Mangkunagaran, Surakarta. Sementara, menurut Thorn, terdapat sekitar 17.000 prajurit Keraton yang bersiaga di dalam baluwarti (tembok keraton). Tembak-menembak antara Benteng Vredeburg—sebagai kubu pertahanan Inggris—dan Keraton sebenarnya sudah dimulai sejak 18 Juni sore. Menurut Thorn, benteng ini, “hanya sedikit meninggalkan bubuk mesiu dari pabrik mesiu lawas tinggalan Belanda, sangat buruk,” ungkapnya, “sehingga tembakan kami ibarat hanya menghibur musuh.”


Sebetulnya Inggris masih menanti pasukan Letnan Kolonel Alexander MacLeod yang tengah berangkat dari Salatiga menuju Yogyakarta. Pasukan susulan itu baru tiba pada esoknya, dan langsung menggempur Keraton.


Pertahanan Sultan yang paling kuat dengan meriam-meriam bermulut ganda berada di kawasan Alun-alun utara. Namun, tampaknya Inggris tidak menempatkan kawasan ini sebagai serangan utama, melainkan serangan pengecoh.


Serangan utama Inggris tertuju pada sisi timur baluwarti— ( kini sepanjang Jalan Brigjen Katamso.) Gempuran tersebut dilakukan oleh Kolonel James Watson yang membawahi Resimen Infanteri ke-14, Buckinghamshires. Mereka mendekati bastion timur laut dengan dilindung penembak-penembak Inggris.


Bastion timur laut tempat gudang mesiu prajurit Sultan berhasil diledakkan oleh serdadu sepoy di bawah komando Watson. Tampaknya ledakan penyimpanan bubuk mesiu itu sangat dahsyat. Setelah ledakan, pertahanan baluwarti mulai mengendur sehingga mereka berhasil menurunkan jembatan jungkit di gerbang utama Kadipaten.


Mungkin akibat ledakan itulah bastion timur laut itu rusak berat dan hingga hari ini hanya menyisakan tiga bastion—warga menjulukinya dengan Pojok Beteng Wetan, Pojok Beteng Kulon, dan Pojok Beteng Lor. Plengkung Tarunasura/Pancasura, kini lebih dikenal dengan Wijilan, sebagai gerbang utama Kadipaten diserang oleh pasukan Letnan Kolonel Alexander MacLeod. Gerbang masih dijaga pertahanan kuat laskar Sultan. Para serdadu sepoy India itu merayapi dinding benteng dengan cara saling memanjat pundak temannya hingga mencapai celah baluwarti. Akhirnya, artileri tempur Inggris berhasil meledakkan gerbang itu.


“Musuh menyapu tembok benteng dengan tembakan senapan dari bastion tenggara,” catat Thorn. Namun, “akhirnya [bastion itu] takluk diujung bayonet.” Kemudian, setelah beberapa pertempuran di sisi selatan benteng, serdadu Inggris berhasil membuka gerbang selatan, Plengkung Nirbaya. Berikutnya, serdadu sepoy dan Inggris berhasil membobol pintu gerbang barat, Plengkung Jagabaya. Pertahanan benteng terakhir yang mampu dipertahankan laskar Sultan adalah bastion barat laut, kemudian mereka menyelamatkan diri ke sebuah masjid di luar baluwarti, demikian papar Thorn. Tampaknya yang dimaksud Thorn adalah Masjid Besar Kauman.

Segera setelah beteng ini direbut, seluruh meriam diarahkan ke arah Keraton Yogyakarta. Serangan ini kemudian disusul dengan masuknya pasukan Sepoy dari Gerbang / Plengkung Nirbaya yang berhasil dikuasai. pasukan Inggris berhasil masuk ke Plataran Srimanganti.

Mayor William Thorn, pelaku sejarah serbuan Inggris ke Keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812 menulis, penaklukan raja Jawa, Sultan HB II, dilakukan dengan cara-cara terhormat penuh kedisiplinan.


Dalam buku memoar yang ditulisnya, Penaklukan Pulau Jawa, terbit pertama tahun 1815, Thorn yang ikut bertempur di Jogjakarta melukiskan penyerahan diri Sultan HB II terjadi setelah tiga jam penyerbuan yang sangat sengit dan brutal. Tidak lagi menggunakan meriam dan peluru tetapi menggunakan bayonet dan keris juga senjata tajam lainnya.

Sekitar 1.000 prajurit Inggris melawan tak kurang 17 ribu prajurit Sultan dan pengikutnya di dalam maupun luar benteng.

"Semangat heroik dan budi luhur menjadi karakteristik khas tentara Inggris," puji Thorn dalam bukunya.

"Kaum perempuan di bagian dalam istana diperlakukan sangat hormat, dan harta kekayaan di sana juga dilindungi," lanjutnya. "Tak ada satupun orang dilecehkan, dan tak ada perkosaan terjadi," tulis Thorn lagi.


BETULKAH DEMIKIAN ? :

Dr Peter Carey, spesialis peneliti Diponegoro dan masa-masa sekitarnya menceritakan berbeda.

Di buku jilid 1 Kuasa Ramalan, Peter Carey melukiskan detik-detik penyerahan diri Sultan HB II dan keluarganya di pendopo Srimanganti.

Ketika garda terdepan pasukan Inggris mencapai Srimanganti, Sultan dan keluarga besarnya, dan orang-orang terdekatnya terlihat mengenakan pakaian serba putih.

Mereka membiarkan ketika senjata-senjata pusakanya dilucuti secara kasar oleh para prajurit Inggris dan Sepoy.

Sultan diamankan perwira Inggris, Letnan Henry N Douglas dari Resimen Infantri Highland ke-78. Permintaan Sultan untuk membawa pusaka keraton ditolak Gillespie, yang kemudian menyitanya.

Pusaka yang disita terdiri keris Kiai Paningset, Kiai Sengkelat, Kiai Urub, dan Kiai Jinggo.

Tiga keris pusaka utama, yaitu Kiai Gupito, Kiai Joko Piturun, Kiai Mesem, yang semula disita Gillespie, dikembalikan ketika penobatan Rm. Suraja sebagai Sultan HB III.


Sesudah itu Sultan dan keluarganya digiring dari keraton ke Wisma Residen.

Mereka digiring dan diapit barisan serdadu Inggis dan Sepoy dengan pedang terhunus dan sangkurnya terpasang di senapan.

Tatkala rombongan masuk Wisma Residen, Raffles menyambutnya dengan rasa puas.

Rupa rupanya disitu telah hadir para pangeran yang membelot ada juga Pangeran Natakusuma, yang melihat kehadiran Sultan dengan dingin.


Sultan kemudian dipaksa menyerahkan keris dan perhiasan milik mereka.

Air mata Sultan menetes di hadapan banyak orang, termasuk sang Putra Mahkota ( Mangkudiningrat ) yang telah tertawan. Saat itu pukul 8 pagi, 20 Juni 1812.


Pedang dan keris Sultan diambil Raffles dan dikirim sebagai tanda mata ke Lord Minto di Kalkuta, India. 

Pengiriman pedang dan keris itu sekaligus simbol penyerahan total kasultanan Yogyakarta di bawah kekuasaan Inggris.


Ketika Sultan sudah dimasukkan tahanan bersama putra kesayangannya, ( Pangeran Mangkudiningrat,) para prajurit penjaga mencopoti kancing-kancing berlian di pakaian Sultan yang ditanggalkan.


PENJARAHAN HARTA KERATON.

Raffles sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Jawa melaporkan hal ihwal penguasaan harta-harta kerajaan itu ke Lord Minto.


Sesudah keraton dikuasai, semua penghuni pentingnya ditawan, Gillespie membagi-bagi harta rayahan. Ia mendapatkan bagian terbesar uang sebanyak 15.000 pound (1,5 juta poundsterling di masa sekarang). Sisanya dibagi ke para perwira dan prajuritnya.


Pangeran Prangwedono yang memimpin Legiun Prangwedono (Mangkunegaran), menerima bagian 140 ribu poundsterling. Tak terhitung lagi harta karun naskah kuno, benda antik, emas, perak, intan berlian yang turut dirampas pasukan Raffles.

Raden Ayu Wandan, istri Pangeran Mangkudiningrat diperlakukan kasar.

Semua perhiasan dan pakaian kebesarannya dilucuti, hingga ia tampak memelas di hadapan para prajurit.


Penggeledahan habis-habisan juga dilakukan di kediaman Ratu Kencono Wulan.

Sang Ratu diyakini menyimpan perhiasan dalam jumlah besar dan intan sebesar jempol kaki. Ratu membantah, dan hanya menyerahkan sekantung berlian.

Namun Intimidasi kasar membuat sang Ratu bertekuk lutut dan menyerahkan cincin intan besar, yang disembunyikan di dasar sumur kediamannya.


Menurut Babad GEGER SEPEHI, penjarahan terus berlangsung hingga empat hari lamanya.

Barang-barang rampasan keraton diangkut menggunakan pedati dan kuli panggul.

Sejumlah bangsawan keraton dipaksa ikut jadi kuli panggul, menggotong kotak-kotak berisi barang pusaka ke Wisma Residen.

Paling banyak yang diangkut alat persenjataan, wayang, gamelan keraton, arsip dan naskah- naskah kuno berupa babad, surat daftar tanah dan lain sebagainya. Raffles kemudian menggunakan pengetahuan dan wawasan Pangeran Natakusuma di bidang sastra untuk memilah dan menginventarisasi naskah tersebut sebelum dibawa ke Inggris.


Semua naskah kuno hasil rampokan dari keraton diangkut ke Inggris, kecuali satu babad berisi daftar raja-raja Jawa yang diserahkan Raffles ke Pangeran Notokusumo ( Pakualam I )

Sebagian koleksi naskah Jawa dan nusantara itu kini disimpan di British Library dan Royal Asiatic Society.(xna)


Pada masa ini pula, Pangeran Natakusuma diberikan status sebagai pangeran merdeka dan memiliki wilayah sendiri. Pangeran Natakusuma diberikan tanah seluas 4000 cacah, dan kemudian memperoleh gelar Pangeran Pakualam I. Wilayahnya ditetapkan sebagai kadipaten dan dinamakan Pakualaman. Sri Sultan Hamengku Buwono II sendiri kemudian diasingkan ke Penang.


Pada 1 Agustus 1812, pemerintah Inggris mengeluarkan peraturan untuk Keraton Yogyakarta dan Surakarta yang sangat merugikan bagi bangsawan-bangsawan Jawa. Perjanjian tersebut antara lain : 

1. Memangkas kekuatan militer kerajaan sampai sebatas yang disetujui Inggris. 

2. Beberapa wilayah mancanegara dan negaragung,seperti Mojokerto, Jipang, dan Grobogan, diambil paksa sehingga membuat para pejabat yang mengatur di sana kehilangan jabatan dan kekuasaan. 

3. Pengelolaan gerbang-gerbang cukai jalan dan pasar masuk ke kas pejabat Inggris, ini tidak hanya menghilangkan pendapatan dari pungutan tetapi juga membuat perdagangan dikuasai oleh pihak asing. 

4. Inggris juga menentukan bahwa semua orang asing dan orang Jawa yang dilahirkan di luar wilayah kerajaan berada dalam hukum kolonial. Mereka tidak lagi dapat diadili di bawah hukum Jawa-Islam.


Kebijakan-kebijakan tersebut membuat pergolakan besar di masyarakat Jawa. Ketidakpuasan dan rasa kekecewaaan inilah yang kemudian menjadi salah satu pemicu Perang Jawa (1825-1830). Geger Sepehi tidak hanya sebuah sejarah kekalahan yang meruntuhkan kewibawaan para raja-raja Jawa yang dibungkus dengan berbagai mitos kesaktian dan energi supranatural dari nyai Roro kidul, namun juga menjadi tonggak lahirnya tata dunia baru di tanah Mataram.


Daftar Pustaka:

Kompas, 2008. Ekspedisi Anjer-Panaroekan: Laporan Jurnalistik Kompas . 200 Tahun Anjer-Panaroekan . Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Darda Syahrizal, SH, 2011. Kasus-kasus Hukum Perdata di Indonesia . Yogyakarta: Penerbit Pustaka Ghratama.

Peter Carey, 1980. Arsip Yogyakarta, Vol. 1. Dokumen Terkait Politik dan Pengadilan Internal , New York: Oxford University Press.

Peter Carey, 2008. Kekuatan Nubuat , Leiden: KITLV Press.

William Thorn, Mayor. 1815. Memoir of Conquest of Java . London: T. Egerton, Libary Militer, Whitehaal

MC Ricklefs, 2001. Sejarah Indonesia Modern sejak c. 1200 Edisi Ketiga . Hampsire: Palgrave


Gambar :

Pasukan Sepoy ( lidah Jawa jadi SEPEHI ).

Orang-orang India yang dipekerjakan sebagai tentara bayaran oleh Inggris.

0 komentar:

Posting Komentar