Minggu, 11 Oktober 2020

Pangeran Diponegoro 6

 DIPONEGORO PAHLAWAN GOA SELARONG.

Bagian 6. PUTERA MAHKOTA ( ayahnya Diponegoro, calon Sultan Hamengkubuwono III)

Oleh: Anggoro Ruwanto

Pieter Engelhard ( residen Surakarta ) melaporkan, pagi-pagi buta sudah terlihat banyak kesibukan di rumah putera mahkota, yang terletak disudut timur keraton.

Disana Residen dikawal oleh sembilan ningrat muda yang belum menikah ( bujang-bujang ) yang di sebut Pandji. Yang mengiringi nya menuju ke tempat pertemuan resmi / Paseban / Pesanggrahan dialun alun Utara.

Setelah melihat bala tentara Sultan berbaris keluar dari Keraton, maka rombongan residen Pieter Engelhard masuk dalam ekor barisan itu yang panjangnya mencapai lima kilometer menuju Pesanggrahan.

Pada waktu makan siang Engelhard mengawasi tindak tanduk putera mahkota, dan inilah kesimpulannya " wataknya baik, penampilan nya bersahabat dan berwibawa, yang membuatnya dicintai oleh semua orang dan rakyat nya "

Dalam perjamuan ini, putera mahkota memperlihatkan sikapnya didepan ayahnya ( Sultan Hamengkubuwono II ) bahwa dia mempunyai prinsip pro Belanda, dengan cara meminta supaya tehnya dicampur susu seperti tamu-tamu Belanda ( d'almaida 1864, II : 79 ) dan berteriak dengan lantang " Bahwa semua kerabat dan pejabat keraton hendaknya mulai hari ini memakai bahasa Melayu kepada semua pejabat Belanda karena itulah bahasa resmi para sahabat Sultan yaitu pejabat-pejabat Belanda."

Dimulai dari sinilah jurus-jurus politik putera mahkota dimulai dengan masalah bahasa yang berlawanan dengan prinsip ayahnya yang justru menganggap bahasa Melayu adalah bahasa pitik dan Sultan walaupun bisa berbahasa Melayu tetapi untuk berbicara dengan para pejabat Belanda tetap memakai bahasa Jawa Ngoko ( walaupun nantinya diterjemahkan oleh petugas penerjemah ).

Demikian pula hal ini mempunyai dampak lanjutan, yaitu mulai terbelahnya kerabat dan pejabat keraton, antara yang pro dan yang kontra pada Belanda.

Menjelang siang regu pasukan kavaleri / berkuda Diponegoro dipersilahkan memasuki alun-alun, dan selama dua jam mereka mendemonstrasikan jurus-jurus pertempuran dengan memaki tombak, pedang, dan bedil / senapan Laras panjang. Didepan para tamu pejabat Belanda.

Namun terlihat sekali tentara Jogja ini lemah sekali dalam ketrampilan memakai bedil, tetapi lihai sekali memainkan tombak panjang dan pedang nya. ( Kelak pasukan Raffles bisa merasakannya ketika menyerang Jogja pada Juni 1812 ).

Sementara semua peristiwa ini berlangsung, ternyata Daendels diam-diam sudah tiba di Semarang beserta dengan 3000 pasukan kavaleri, dan artileri / meriam lapangan. Ia ingin memperlihatkan kepada Sultan, betapa dahsyatnya kekuatan militer Belanda. Jadi dia mengundang beberapa pejabat keraton Jogja untuk hadir di Semarang, menyaksikan tentara Belanda ber- olah senjata mempertahankan pulau Jawa.

Rombongan Jogja berangkat pada tgl 12 Juni dipimpin oleh Raden Ronggo. Namun rombongan ini terang-terangan memperlihatkan sikap bosan dan muak pada semua pameran Daendels.

Hal ini membuat Deandels marah dan membiarkan rombongan Jogja pulang tanpa seremonial apapun dan Daendels menolak menitipkan salam untuk Sultan.

Hal ini sangat berlawanan / berbeda sekali penyambutan nya pada dua delegasi rombongan Surakarta ( Kasunanan dan Mangkunegaran ) karena delegasi Surakarta ini waktu berkunjung ke Semarang memperlihatkan sikap hormat dan persahabatan pada para pejabat Belanda. Sehingga Daendels menganugerahkan jabatan / pangkat Letnan Kavaleri kepada Raden Malikan Saleh ( putera mahkota Surakarta yang kelak menjadi Pakubuwana VII ) dan kepada Pangeran Prangwedono ( yang kelak menjadi Mangkunegoro II ) dipromosikan sebagai Kapten penuh tentara kerajaan Belanda yang berkekuatan 1.150 orang ( legiun ).

Dengan demikian Pangeran Prangwedono diakui secara resmi sebagai pejabat militer yang sah dari kerajaan Belanda. 

Dan memang akhirnya Pangeran Prangwedono tetap setia kepada Belanda hingga wafatnya ( Januari 1835 ).


BANGKITnya SENTIMEN ANTI BELANDA di JOGJA.

Kalangan elite keraton Jogja yang menghayati betul semangat tempur Mangkubumi sadar betul bahwa maklumat Daendels itu mengancam eksistensi mereka. Bila putera mahkota bersikap pro Belanda, maka mereka mengambil sikap yang berbeda.

Awal Agustus, Sultan Hamengkubuwono II dimasa puncak krisis hubungan Jogja dengan Belanda, dengan tenang menunjuk kembali panglima perangnya yang terkenal Raden Tumenggung Sumodimingrat, untuk menduduki jabatan Patih Jero, sebuah jabatan kunci yang mempunyai akses langsung kepada Sultan.

Tumenggung Sumodimingrat tidak mempunyai anak, oleh sebab itu ia mengangkat anak ( adik laki-laki nya Diponegoro ) yang bernama Pangeran Adinegoro, melalui adik kandungnya inilah Diponegoro bisa mewarisi wilayah SELARONG yang kelak menjadi markas utamanya.

Walaupun suka berjudi dan mabuk-mabukan tetapi apabila sudah dimedan perang maka Tumenggung Sumodimingrat berubah menjadi macan liar yang sangat menakutkan. 


Sikap anti kolonialisme ini makin kentara diwilayah lingkaran dalam keraton, terutama hal peraturan tata upacara baru yang dari Daendels. Tumenggung Sumodimingrat langsung mengusulkan untuk menolak aturan itu. Karena hanya akan makin merendahkan pamor para pejabat keraton.

Dalam hal ini para pejabat inti istana terbelah dua sikapnya.

Raden Ronggo ( menantu Sultan Hamengkubuwono II ) jelas anti Belanda, dia meninggalkan pasewakan agung dengan wajah marah. Raden Ronggo yang bersikap tegas dan berani memberontak inilah yang jadi teladan Diponegoro.

Wajah tampan dan sikap keras berapi-api inilah yang kelak diwariskan kepada puteranya yang bernama SENTOT ( kelak menjadi panglima perangnya Diponegoro dengan gelar Alibasyah ).


Segera banyak laporan yang diterima Daendels tentang penentangan Sultan Hamengkubuwono II kepada maklumat nya. Membuat Deandels geram dan mengancam akan segera datang ke Jogja dengan kekuatan penuh. Dan mengancam sultan dengan tuduhan tidak setia kepada kerajaan Belanda.

Sementara itu Daendels juga memerintahkan kepada sultan untuk membuka akses hutan-hutan jati diwilayah timur kepada Belanda. 

Daendels juga menunjuk Gustav Wilhelm Wiese sebagai pejabat administrasi kehutanan yang baru, dan memerintahkan kepada para bupati diwilayah timur ( Madiun, Padangan dan Panolan ) untuk datang ke Jogja guna menerima instruksi darinya.

Hal ini kelak disikapi dengan Pemberontakan oleh Raden Ronggo, yang kemudian diikuti oleh Bupati Padangan, Mas Tumenggung Sumonegoro, dan Bupati Panolan, Raden Tumenggung Notowidjoyo III ( mertua Diponegoro ). Semua ini tidak luput dari pengamatan Diponegoro.

Daendels juga mencurigai Keraton sering dijadikan tempat persembunyian para Gegedug ( tokoh-tokoh preman ) yang menggangu logistik dan mencuri persenjataan Belanda.

Untuk hal ini Daendels mengajukan kesepakatan baru yang mengatur antara lain : 

1. Hukuman dan ketertiban.

2. Soal kuli panggul.

3. Soal pengerahan tenaga kerja / rodi dalam pembuatan jalan post ( postweg ) trans Jawa.


Kesepakatan ini ditandatangani oleh dua orang patih, satu dari Surakarta dan satu dari Jogjakarta. Penandatanganan ini terjadi di Klaten.


Daendels juga menuntut supaya keraton Jogjakarta maupun Surakarta mengirimkan Patih-patihnya ke Semarang untuk menghormatinya sebagai Gubernur jenderal yang berkuasa atas mereka (:raja-raja ) dan sambil membawa cenderamata / bulubekti sebagai tanda hormat mereka kepada kerajaan Belanda.

Itupun Daendels tidak mau menemui para utusan, dia hanya mewakilkan kepada sekjennya yaitu Hendrik Veeckens untuk menerima persembahan mereka atasnama dirinya dan membacakan ulang aturan-aturan yang sudah disepakati bersama. ( Dalam suasana penuh tekanan tentunya ).


TARUNG MACAN vs BANTENG.

Tidak lama setelah para Adipati pulang dari Semarang, datanglah Van Braam deputi Daendels ke jogjakarta bersama istrinya dalam kunjungan resmi, setelah beberapa hari sebelumnya singgah di Surakarta. 

Sudah lazim bagi Keraton Yogyakarta dalam menyambut tamu istimewa mengadakan pertunjukan adu kuat antara Banteng 🐃 dan Harimau / macan 🐅. Di alun alun selatan.

Pada ronde pertama si macan merobek otot kaki sang banteng, namun anehnya si macan tidak mau melanjutkan pertarungan. Akhirnya digantikan dengan memasukkan macan yang baru, lebih aneh lagi... Begitu melihat sang banteng, si macan tidak mau bertarung malah melarikan diri dengan cara melompati para penjaga yang bersenjatakan tombak, akhirnya si macan dapat dibunuh para penjaga di belakang panggung kehormatan. Dimana sultan duduk dengan para tamu kerajaan.

Bagi orang Eropa, Van Braam, ini mungkin hanya sekedar hiburan. Tetapi bagi masyarakat Jogja / Jawa pada waktu itu, pertunjukan ini mempunyai makna yang sangat mendalam, karena macan yang kuat dan gesit dan mematikan adalah simbol orang Belanda, sedangkan banteng liar yang kuat adalah simbol orang Jawa.

Ini artinya walaupun peperangan pertama Belanda bisa melemahkan pasukan Jawa tetapi tidak bisa mengalahkan, sedangkan pada ronde kedua jelas-jelas Belanda akan langsung ketakutan melawan pasukan Jawa yang sudah lebih siap.

Peristiwa ini lah yang terus membakar semangat pasukan Diponegoro kelak.


Besok : Insiden Diplomatik.

0 komentar:

Posting Komentar