Minggu, 11 Oktober 2020

Hamengkubuwono III-V

Hamengkubuwono III-V: Kanjeng Mas HEMAWATI, Permaisuri SEKAR KEDATON.

( Seri Amangkurat )

Oleh: Anggoro Ruwanto

Sri Sultan Hamengkubuwana III (lahir di Yogyakarta, 20 Februari 1769 – meninggal di Yogyakarta, 3 November 1814 pada umur 45 tahun) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah dalam dua periode, yaitu tahun 1810 – 1811 dan 1812 – 1814.

Nama aslinya adalah Raden Mas Surojo, putra Hamengkubuwana II yang lahir pada tanggal 20 Februari 1769. Pada bulan Desember 1810 terjadi serbuan tentara Belanda terhadap Keraton Yogyakarta sebagai kelanjutan dari permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan Herman Daendels.


Hamengkubuwana II diturunkan secara paksa dari takhta setelah peristiwa pemberontakan Raden Ronggo. Herman Daendels kemudian mengangkat Raden Mas Surojo sebagai Hamengkubuwana III berpangkat regent, atau wakil raja. Ia juga menangkap dan menahan Pangeran Notokusumo saudara Hamengkubuwana II di Cirebon.


Pada tahun 1811 Inggris berhasil merebut jajahan Belanda terutama Jawa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hamengkubuwana II untuk naik takhta kembali dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 28 Desember 1811.


Kemudian terjadi permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan Thomas Raffles, yaitu kepala pemerintahan Inggris di Jawa. Pertempuran terjadi di Keraton Yogyakarta, di mana Thomas Raffles membuang Hamengkubuwana II ke Pulau Penang, dan mengangkat kembali Hamengkubuwana III sebagai raja.


Akibat pertempuran tersebut, Kesultanan Yogyakarta harus menerima konsekuensi, antara lain:


Yogyakarta harus melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setiap tahunnya.

Angkatan perang Yogyakarta diperkecil dan hanya beberapa tentara keamanan keraton saja.

Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo yang berjasa mendukung Thomas Raffles, dan diangkat menjadi Paku Alam I.


Pemerintahan Hamengkubuwana III berakhir pada saat meninggalnya, yaitu tanggal 3 November 1814. ( Umur 45 tahun - dimakamkan di Imogiri ) Ia digantikan putranya yang masih anak-anak sebagai Hamengkubuwana IV. Sementara itu putra tertuanya yang lahir dari selir bernama Pangeran Diponegoro kelak melancarkan perang terhadap Belanda pada tahun 1825 – 1830.

( Untuk lebih jelasnya bisa di postingan saya bagian 19, 20, dan 21 )


HAMENGKUBUWANA IV.

Sri Sultan Hamengkubuwana IV (Bahasa Jawa: Sri Sultan Hamengkubuwono IV), (lahir 3 April 1804 – meninggal 6 Desember 1823 pada umur 19 tahun) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1814 - 1822.


Nama aslinya adalah Gusti Raden Mas Ibnu Jarot, putra kedelapan belas Hamengkubuwana III yang lahir dari permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencono pada tanggal 3 April 1804. Ia naik tahta menggantikan ayahnya pada usia sepuluh tahun, yaitu tahun 1814. Karena usianya masih sangat muda, Paku Alam I ditunjuk sebagai wali pemerintahannya.


Pada pemerintahan Hamengkubuwono IV, kekuasaan Patih Danurejo IV semakin merajalela. Ia menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan penting di keraton. Keluarga Danurejan ini terkenal tunduk pada Belanda. Mereka juga mendukung pelaksanaan sistem Sewa Tanah untuk swasta, yang hasilnya justru merugikan rakyat kecil.


Pada tanggal 20 Januari 1820 Paku Alam I meletakkan jabatan / mundur sebagai wali raja. Pemerintahan mandiri Hamengkubuwono IV itu hanya berjalan dua tahun karena ia tiba-tiba meninggal dunia pada tanggal 6 Desember 1823 saat sedang bertamasya. Oleh karena itu, Hamengkubuwono IV pun mendapat gelar anumerta Sinuhun Jarot, Seda Besiyar.


Kematian Hamengkubuwono IV yang serba mendadak ini menimbulkan desas-desus bahwa ia tewas diracun ketika sedang bertamasya ( tubuhnya membengkak dan dari lobang hidung dan telinga mengeluarkan cairan hijau yang berbau busuk ) Putra mahkota yang belum genap berusia tiga tahun diangkat sebagai raja, bergelar Hamengkubuwono V.


HAMENGKUBUWANA V.


Nama asli Sri Sultan Hamengkubuwana V adalah Gusti Raden Mas Gathot Menol, putra keenam Hamengkubuwana IV yang lahir pada tanggal 24 Januari 1820 dari permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Kencono. Sewaktu dewasa ia bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia juga pernah mendapat pangkat Letnan Kolonel tahun 1839 dan Kolonel tahun 1847 dari pemerintah Hindia Belanda. Melihat tahun pemerintahannya dimulai tahun 1823 sedang lahirnya adalah tahun 1820 maka Sultan Hamengku Buwono V waktu permulaan bertakhta baru berumur 3 (tiga) tahun.


Hamengkubuwana V sendiri mendekatkan hubungan Keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Hindia Belanda yang berada di bawah Kerajaan Belanda, untuk melakukan taktik perang pasif, di mana ia menginginkan perlawanan tanpa pertumpahan darah. Sri Sultan Hamengkubuwana V mengharapkan dengan dekatnya pihak keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Belanda akan ada kerja sama yang saling menguntungkan antara pihak keraton dan Belanda, sehingga kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara.


Kebijakan Hamengkubuwana V tersebut ditentang oleh beberapa kanjeng abdi dalem dan adik Sultan HB V sendiri, yaitu Gusti Raden Mas Mustojo ( kelak naik takhta bergelar Hamengkubuwana VI). Mereka menganggap tindakan Sultan HB V adalah tindakan yang mempermalukan Keraton Yogyakarta sebagai pengecut, sehingga dukungan terhadap Sultan Hamengkubuwana V pun berkurang dan banyak yang memihak adik sultan ( GRM Mustojo. ) Keadaan semakin menguntungkan GRM Mustojo setelah ia berhasil mempersunting putri Kesultanan Brunai dan menjalin ikatan persaudaraan dengan Kesultanan Brunai. Kekuasaan Sultan Hamengkubuwana V semakin terpojok setelah timbul konflik di dalam tubuh keraton yang melibatkan istri ke-5 sultan sendiri, Kangjeng Mas Hemawati. Sri Sultan Hamengkubuwana V hanya mendapatkan dukungan dari rakyat yang merasakan pemerintahan yang aman dan tenteram selama masa pemerintahannya.


MISTERI KEMATIAN NYA :

Sri Sultan Hamengkubuwana V wafat pada tahun 1855 dalam sebuah peristiwa yang hanya sedikit diketahui orang, peristiwa itu dikenal dengan peristiwa wereng saketi tresno (bahasa Indonesia: wafat oleh yang dicinta), Sri Sultan meninggal setelah ditikam oleh istri ke-5-nya, yaitu Kangjeng Mas Hemawati, yang sampai sekarang tidak diketahui apa penyebab istrinya berani membunuh Sultan, suaminya.

Sultan Hamengkubuwana (HB) V ditemukan tewas bersimbah darah di salah satu ruang istananya.


Peristiwa ini diliputi kabut misteri yang tidak terkuak secara gamblang hingga sekarang. Pasalnya, dalam catatan sejarah, hasil pengusutan dari pembunuhan itu tetap menyisakan sejumlah pertanyaan yang tidak bisa dijawab.


Dalam pengusutan, disebutkan bahwa Sang Raja ditikam dari belakang dengan menggunakan keris oleh istri kelimanya, yang konon adalah paling ia cintai. Wanita cantik itu bernama Kanjeng Mas Hemawati. 

Para bangsawan keraton sengaja menutup rapat-rapat semua pihak yang ingin menguak apa yang terjadi di balik peristiwa itu.


Pertanyaannya, mengapa Kanjeng Mas Hemawati membunuh suaminya yang telah memberikan gelimang harta dan nama harum baginya? Apakah semata karena persoalan cinta? Apakah ia hanyalah kepanjangan tangan dari pihak lain yang bertentangan dengan Sang Raja?


Hanya saja, tidak diketahui secara pasti bagaimana intrik itu kemudian dirancang dan dilaksanakan. Namun banyak  desas-desus di keraton bahwa intrik dan polemik itu kemudian melibatkan istri sultan, yaitu Kanjeng Mas Hemawati. Dan terjadilah peristiwa berdarah itu.

Sejak peristiwa pembunuhan itu, tiba-tiba keberadaan Kanjeng Mas Hemawati kemudian seperti hilang tertelan bumi.( Apakah dibunuh, apa dibuang ke suatu tempat, atau dipenjarakan ) tidak ada yang tahu.


Selain itu, ada kejanggalan lain yang perlu dicatat. Saat Hamengkubuwana V dibunuh, permaisuri yaitu Kanjeng Ratu Sekar Kedaton sedang hamil tua. kemudian melahirkan seorang putera dan diberi nama Raden Mas Kanjeng Gusti Timur Muhammad.

Harusnya yang naik tahta adalah Raden Mas Kanjeng Gusti Timur Muhammad. Namun dengan alasan masih bayi, pihak yang kemudian naik tahta menjadi Raja adalah Raden Mas Mustojo ( adik Hamengkubuwana V yang mendapatkan banyak dukungan rakyat dan kerabat keraton ) dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana VI.


Dan babak selanjutnya, intrik Raden Mas Mustojo alias Hamengkubuwana VI, terlihat lebih kentara. Saat ia wafat pada 20 Juli 1877. Tahta kerajaan seharusnya diserahkan “kembali” kepada Raden Mas Kanjeng Gusti Timur Muhammad.

Namun ternyata yang naik tahta adalah anak dari Hamengkubuwana VI, yakni Gusti Raden Mas Murtejo yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana VII (1839-1931).


Dan ketika permaisuri Hamengkubuwana V dan Gusti Timur Muhammad menuntut haknya, mereka justru ditangkap dan dibuang ke Manado, Sulawesi Utara,

Ada Kubur Beton Sekar Kedaton

Di kelurahan Mahakeret Barat, kecamatan Wenang, Manado.makam Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan putranya, Pangeran Gusti Timur Muhammad Suryeng Ngalaga. Tertera wafatnya sang Ratu, 25 Mei 1919.


HAMENGKUBUWONO VI.

Seperti yang telah diperkirakan, Raden Mas Mustojo dinobatkan sebagai Raja Yogyakarta berikutnya, bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana VI kendati mulanya hanya sementara sembari menunggu putra mahkota ( Gusti Timur Mohammad ) sudah siap memimpin sebagai sultan. Namun, yang terjadi kemudian bukan sesuai kesepakatan. Setelah Sultan HB VI wafat pada 20 Juli 1877, yang dinaikkan ke singgasana justru anaknya sendiri, yakni Gusti Raden Mas Murtejo atau yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana VII (1839-1931).


Hal ini tentu saja mendapat tentangan dari permaisuri Sultan HB V, Ratu Sekar Kedaton, dan Gusti Timur Muhammad yang seharusnya naik tahta. Keduanya lalu ditangkap dengan tudingan telah melakukan pembangkangan terhadap raja dan istana. Hukuman pun dijatuhkan, sekaligus untuk menghapus trah Sultan HB V demi melanggengkan kekuasaan Sultan HB VII beserta keturunannya nanti. Ratu Sekar Kedaton dan Gusti Timur Muhammad harus menjalani hukuman buang ke Manado, Sulawesi Utara, hingga keduanya meninggal dunia di sana.


Ada Kubur Beton Sekar Kedaton

Di kelurahan Mahakeret Barat, kecamatan Wenang, Manado.makam Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan putranya, Pangeran Gusti Timur Muhammad Suryeng Ngalaga. Tertera wafatnya sang Ratu, 25 Mei 1919.


Bacaan lanjutan Sunting

M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.


Foto : Ratu Kedaton. Permaisuri Sunan Hamengkubuwana V yang bersama anaknya ( putra mahkota Rm. Timur Mohammad ) dibuang ke Manado sampai wafatnya.

0 komentar:

Posting Komentar