Minggu, 11 Oktober 2020

Pangeran Diponegoro 2

 DIPONEGORO PAHLAWAN GOA SELARONG.

Bagian 2.

Oleh: Anggoro Ruwanto

TEGALREJO: 

Pada saat wafatnya Ratu Ageng - 1803 Tegalrejo adalah wilayah yang benar-benar makmur, dengan aneka taman, kebun buah-buahan, kolam-kolam ikan, dan tembok bata yang mengelilingi nya.

Tempat tinggal Diponegoro luas dan tinggi,dan terbuat dari bata, disampingi rumah utama ada lagi dua bangunan berderet disamping kiri dan kanan nya dengan banyak ruang-ruangan, Tempat biasanya tamu-tamu menginap, disebelah kanan, dan ruang para pembantu disebelah kiri.

Dibagian belakang ada juga bangunan memanjang yang terpisah dari rumah utama terbagi atas berderet-deret ruangan. Untuk dapur, lumbung padi, tempat makanan kuda, dan mck.

Sedangkan dirumah utama, ada pendopo yang sering dipakai untuk pengajian tapi juga untuk pagelaran wayang dan klenengan gamelan.

Dua hal ini juga sangat disukai Diponegoro. Dengan makin banyaknya orang-orang / Anak-anak muda yang ingin nyantri di Tegalrejo, hal ini memunculkan keinginan Diponegoro untuk membangun mesjid batu yang besar.. sayangnya walaupun sudah banyak menghabiskan uangnya, kelak masjid itu harus ditinggalkan pada 20 Juli 1825, saat hampir selesai pembangunannya karena peperangan.


Diponegoro pernah berkata " Masjid selalu menyenangkan saya, orang tidak harus berdoa di dalamnya,tetapi masjid mengarahkan hati pada ketulusan agama " 


OLAH BATIN DIPONEGORO :

Seperti orang-orang Jawa kebanyakan, Diponegoro juga tidak meninggalkan ilmu kebatinan nya, dia sering bersemedi di gua-gua, arus sungai, dan tempat tempat keramat para wali.

Dipercaya banyak pengikutnya, Diponegoro banyak mempunyai ilmu Kanuragan dan kebatinan serta senjata-senjata pusaka. Antara lain tombak Kiai Rondhan dan keris Nogosiluman.

Pada awal perang jawa, 1825 saat Belanda meyerang kompleks Tegalrejo dan keluarga Diponegoro + para pengikutnya terdesak, Diponegoro dengan pukulan jarak jauh menghantam tembok Puri yang tebal dan membuat lubang besar supaya semuanya bisa meloloskan diri.


DIPONEGORO & KERATON.

Kehidupan Diponegoro yang bertentangan dengan gaya hidup para pangeran di keraton menimbulkan intrik tersendiri, 

Gaya hidup keraton yang duniawi berbeda jauh dengan gaya hidup Diponegoro. Bahkan menurut pengakuannya sendiri, dia jarang sekali mengunjungi keraton Jogja, dalam setahun paling banyak hanya tiga kali, yaitu pada waktu upacara gerebeg Maulud ( kelahiran nabi Muhammad Saw ), Gerebeg riyoyo bakdo ( Iedul Fitri ) dan gerebeg Qurban ( Iedul Adha ).

Itupun hanya karena Diponegoro takut pada kemarahan kakeknya ( Hamengkubuwana II ) dan kepada ayahnya ( putera mahkota yang kelak jadi Hamengkubuwana III ).

Dua hal pengecualian, yaitu dia terpaksa datang ke Keraton karena menerima nama dewasa ( Raden mas Ontowiryo ) dan saat menikahi anak perempuan seorang Bupati daerah luar.


MENJALIN HUBUNGAN DENGAN KOMUNITAS ISLAM.

Korp Suronatan, adalah perkumpulan santri-santri tentara keraton yang bersenjata, pertama kali dikenalnya waktu masih tinggal dengan ayahnya di Kadipaten, ada juga kelompok santri dan ulama yang kuat, mereka mendapatkan zakat dari Keraton. Diantaranya adalah : 

1. Penghulu keraton, kiai Mohammad Bahwi, yang kelak terlibat dalam peperangan dengan nama Mohammad Ngusman Alibasyah.

2. Haji Badaruddin, komandan korps tentara muslim Suronatan, yang sudah dua kali naik haji atas biaya Ratu Ageng.

3. Kiai guru Kasongan, anak perempuannya yang bernama Raden ayu Retno Kumolo dinikahi Diponegoro.

4. Kiai Topjani dari Sumatera yang berdomisili di Melangi, guru spiritual komunitas santri Jogjakarta, penerjemah teks-teks Islam yang sulit. Dalam babad Diponegoro, kiai Topjani inilah yang malam-malam datang ke Tegalrejo untuk menemui Diponegoro dan mengatakan bahwa sudah saatnya perang suci / Sabil dimulai.

Kelak Kiai Topjani juga yang menjadi mediator antara kiai Mojo dengan Belanda supaya menyerah.

5. Kiai Mojo dari desa Mojo yang masih kerabat Diponegoro karena dilahirkan oleh saudara perempuan ayahnya ( Bu Lik / Tante ) namun tidak mau tinggal di istana.

Dan banyak lagi Ulama-ulama dan Kiai-kiai lain yang memberikan ilmunya.


Masih berusia 18 menjelang 19 Diponegoro hidup tentram di Tegalrejo bersama istri dan kawulonya ( rakyatnya ) juga dukungan para santri, Kiai dan alim ulama.

Makmur dan kaya, hidup nyaman bebas dari intrik-intrik istana. 

Sepertinya masa depan yang cerah dan penuh optimisme ada didepannya.


Benarkah demikian ?

Tunggu kelanjutannya.


Nb. Rujukan akan dimuat pada akhir kisah.

0 komentar:

Posting Komentar