Amangkurat I

Amangkurat I dan Pangeran Alit.

Amangkurat V

Tersingkirnya Pakubuwana II, Kapten Van Hohendorf.dan Bupati Cakraningrat.

Pangeran Diponegoro Bag. 9

Pergerakan Raden Ronggo.

Hamengkubuwono VIII

GPH. PURBAYA, Sekolah Taman Siswa Nasional, Rumkit Panti Rapih, dan Konggres Perempuan Nasional.

Pangeran Samber Nyowo

Mangkubumi / Hamengkubuwono I, Adipati Anom / Pakubuwono III.

Senin, 12 Oktober 2020

Pangeran Diponegoro 11

 DIPONEGORO PAHLAWAN GOA SELARONG.

Bagian 11.

Oleh: Anggoro Ruwanto

Hamengkubuwana II melaporkan ke Residen Jogja - Engelhard, bahwa Patih Danureja II dipecat karena : 

1. Angresahi agami Islam ( menodai agama Islam.)

2. Merendahkan martabat Sultan.

3. Melanggar perintah-perintah sultan.

( Tanpa samasekali menyebut soal pembunuhan ) 

Dan Patih Danureja II digantikan oleh Raden Mas Tumenggung Sindunegoro, dengan gelar " Kiai Adipati Danureja III.


Catatan Diponegoro : 

Hamengkubuwana III ( Ayahnya ) sedang sangat gelisah ketika tahu pendukung utamanya dibunuh ( Patih Danureja II ) padahal pelindung nya ( Residen Jogja Engelhard ) sedang sakit keras, paru-paru basah, Dan para bupati ( 7 orang ) yang diangkatnya Sekarang tidak punya kekuasaan apa-apa bahkan sedang dipertimbangkan oleh Sultan Hamengkubuwono II untuk dihukum mati.


Keadaan ayahnya saat ini sungguh sangat menyedihkan, batinnya sangat tertekan, karena nyawanya terancam justru oleh ayahnya sendiri.

Malam itu 1 November 1811. Pada tengah malam, Diponegoro pergi dari Tegalrejo untuk memenuhi panggilan ayahnya ( HB III ) Dan menemukan pintu gerbang kadipaten ( tempat tinggal ayahnya ) dipalang dan dijaga oleh korps tentara muslim Suronatan.

Ayahnya memberitahu bahwa Patih Danureja II sudah dibunuh ( Diponegoro sudah tahu ) lantas HB III meminta nasehatnya, langkah apa yang sebaiknya diambil karena Sultan Hamengkubuwono II tiba-tiba memanggilnya. Diponegoro menyarankan supaya jangan pergi malam ini. Menghadap nya besok saja dan akan dia temani. Diponegoro juga menyingkirkan semua kayu-kayu palang yang dipintu gerbang, dan membubarkan para penjaga nya.


Tgl 5 November 1811.

Ayah Diponegoro menghadap Sultan Hamengkubuwono II dan mengadakan perdamaian dengan catatan tidak boleh lagi memakai gelar HB III tetapi kembali ke posisi semula, yaitu putera mahkota. Yang belum tentu kelak menggantikan HB II. Dan Diponegoro sekarang menjadi penasehat politik ayahnya.

Semua permasalahan ini oleh Engelhard dilaporkan kepada Raffles, dan Raffles berkomentar bahwa putera mahkota adalah anak yang sangat berbakti kepada orangtuanya.

14 November 1811.

John Crawford tiba di Jogja untuk menggantikan Engelhard yang sakitnya makin parah. Dengan cepat dia mempelajari bahasa Jawa halus dan bisa mempraktekkannya ( 6 bulan ) dia juga ikut dalam pacuan kuda yang diadakan oleh Keraton di alun-alun selatan / kidul.


Tgl 26 November 1811.

Pertemuan pertama antara John Crawford dengan Sultan, dan sepertinya semuanya berjalan dengan baik, 

Sultan duduk di singgasana nya yang diganjal dingklik. Jadi posisinya lebih tinggi dari Crawford, tapi putera mahkota justru duduk dilantai, seperti para pejabat keraton umumnya.


Tgl 16 Desember 1811.

Adik kandung Sultan Hamengkubuwono II ( Pangeran Notokusumo dan anaknya Notodiningrat ) dikembalikan dari pengasingan nya di Surabaya, karena dulu pernah terlibat pada pemberontakan Pangeran Ronggo. karena Raffles sangat kagum akan pengetahuannya yang mendalam akan seluk beluk Keraton Jogja. Namun Pangeran Natakusuma sangat membenci putera mahkota karena menganggap bahwa dia paling berperan dalam pengasingan nya yang hampir setahun, dan menjadi lebih marah lagi ketika tahu bahwa tempat tinggalnya dirampok habis-habisan pada waktu dia dipengasingan.


Tgl 27 Desember 1811.

Pertemuan Raffles dan Sultan Hamengkubuwono II di tempat tinggal Residen hampir saja menjadi tragedi, karena seorang ajudan Raffles menyingkirkan dingklik pengganjal singgasana Sultan, sehingga tempat duduk Sultan sama tinggi dengan tempat duduk Raffles. Segera saja para pengawal Sultan menghunus kerisnya, tepat saat para perwira Inggris mulai memasuki ruangan. Untung putera mahkota cepat menghalangi dengan berdiri diantara para perwira dan pengawal Sultan, sehingga kejadian itu bisa ditutup i. Selama perundingan dengan Raffles, sultan menampakkan muka yang masam dan tegang, merasa terhina karena insiden tadi, dan Raffles menanggapi nya dengan penuh kecurigaan.

Hasil dari pertemuan Sultan dan Raffles adalah : 

1. Dikembalikan nya semua tanah-tanah kesultanan yang pernah dirampas Daendels.

2. Daerah Grobogan diserahkan kepada Pangeran Natakusuma.

3. Pajak pasar dan cukai pintu gerbang tol diambil alih oleh Inggris dan Sultan akan mendapatkan 80.000 dollar Spanyol setahun sebagai gantinya.


Tapi diam-diam Raffles menjanjikan sesuatu kepada Pangeran Natakusuma, yaitu bahwa semua perjanjian itu akan ditinjau kembali. Hal ini menimbulkan multi tafsir terlebih ditelinga Sri Sultan Hamengkubuwana II.


Juga Diponegoro sendiri entah sengaja entah tidak pernah berbicara bahwa Residen John Crawford pernah berdiskusi tentang segala sesuatu secara pribadi dengan Ayahnya dan dirinya. Dan bahwa dirinya telah ditunjuk secara resmi oleh ayahnya sebagai juru runding dengan pihak Inggris.

Kedudukannya sebagai juru runding ini sangat dihargai oleh John Crawford dan para pejabat Eropa lainnnya.


Banyak nya issue yang berseliweran ditelinga nya membuat Sultan Hamengkubuwono II makin tidak jelas siapa lawan siapa kawan, karena orang-orang dekatnya sendiri saja tidak bisa diharapkan dukungannya.

Oleh sebab itu, untuk memperjelas hal itu Sri Sultan Hamengkubuwana II tgl 2 Januari 1812    mulai menjalin hubungan dengan kasunanan Surakarta, melalui sekretaris nya Raden tumenggung Sumodiningrat, kepada Patih Solo Raden Adipati Cokronegoro. Yang intinya ingin membentuk persekutuan sampai keturun anak cucunya.


Catatan Diponegoro : 

XVI. 23 - Maka demikian kanjeng Sultan makin mantap hati menjadi musuh inggris, tumenggung Sumodimingrat dipercaya untuk tugas ini.

        24 - dan menjalin hubungan dengan Surakarta, tetapi Kanjeng sunan ( Pakubuwana IV ) mempercayakan adiknya, Pangeran Mangkubumi dan Patih nya Adipati Cokronegoro, maka jadilah sebuah persetujuan bahwa dimasa depan, jika terjadi Pertempuran melawan Inggris.

        25 - maka Surakarta akan memukul mereka dari belakang, jadi mereka bersumpah setia dan saling bertukar dokumen, dengan tanda tangan sebagai jaminannya.


Namun disinilah kotornya politik Surakarta, karena walaupun mereka sudah mempersiapkan 7000 tentaranya, tetapi itu hanya show of force untuk menenangkan hati Sri Sultan Hamengkubuwana II. Karena kenyataannya para tentara itu justru ditempatkan dibelakang garis demarkasi Inggris. Untuk melihat hasil pertempuran nanti lebih menguntungkan memihak siapa.


Awal April 1812. 

Raffles mulai mencium niat sultan untuk melawan Inggris, jadi dia menyuruh John Crawford untuk membuka komunikasi dengan putera mahkota, dan putera mahkota menunjuk Patih Raden Ngabehi joyosentiko sebagai wakilnya.

Menurut Diponegoro, Patih joyosentiko ini adalah orang yang mempunyai keberanian luar biasa, yang sangat loyal kepada Ayahnya ( putera mahkota ) yang kelak kesetiaan nya ini akan dibayar dengan nyawanya.


Awal Juni 1812.

Suasana di pihak Keraton Jogja.


Residen Jogja, John Crawford berangkat ke Semarang untuk menemui Gubernur jenderal Raffles, dan membicarakan niatnya untuk melengserkan Sri Sultan Hamengkubuwana II dan menggantinya dengan putera mahkota, bahkan Raffles mengusulkan supaya Diponegoro diangkat sebagai Pangeran Adipati ( calon pewaris tahta ) namun Diponegoro menolak. Bahkan Diponegoro mengangkat sumpah didepan resimen Suronatan sebagai berikut : 

XV. 78 - Jadilah saksi ku.

       79 - jika aku sampai lupa, aku jadikan kalian saksi keteguhan hatiku, biarlah aku tidak dijadikan Pangeran Adipati ( putera mahkota ) bahkan jika kelak dijadikan sultan, sekalipun itu dilakukan oleh ayahku atau Kakek ku.

       80 - aku sendiri tidak ingin mendapatkan nya, kecuali minta ampun kepada yang maha kuasa, tak perduli berapa lama aku di dunia, aku akan selalu berdoa.


Namun hal ini berbeda sekali dengan desas-desus yang beredar di Lingkungan Keraton, karena desas-desus nya justru Diponegoro yang merasa sudah banyak membantu ayahnya sudah selayaknya kelak menggantikan kedudukan ayahnya kalau ayahnya jadi dinobatkan oleh Inggris sebagai Sultan, tapi aturan keraton mencegah ambisinya itu, karena walau bagaimanapun Diponegoro hanyalah anak dari selir ( garwo ampean ) bukan dari istri resmi ( garwo padmi ) ayahnya. Hal inilah menjadi sebab pemberontakannya kelak, karena ambisi politik nya tidak kesampaian ( menurut pejabat Belanda ).


Sri Sultan Hamengkubuwana II sudah makin yakin bahwa akan ada beberapa orang-orang dekat nya yang akan menyeberang ke pihak Inggris, jadi dia mulai merencanakan pembunuhan terhadap putera mahkota dan beberapa pendukungnya.

Namun hal ini sudah tercium oleh pihak Inggris jadi Raffles menyarankan supaya putera mahkota dan komplotannya untuk mengungsi ke wilayah kekuasaan Residen Jogja ( John Crawford ).

Tapi putera mahkota menolak, bahkan dia terus hadir dalam pertemuan-pertemuan resmi keraton, supaya tidak menarik kecurigaan Sri Sultan.


Pada awal Juni 1812.

Suasana di pihak Inggris.


Pasukan ekspedisi Inggris berkekuatan 1000 serdadu terbaik mereka yang separuhnya adalah serdadu Sepoy, tiba di Semarang, Ungaran dan Salatiga, mereka disebar untuk memperkuat garnisun-garnisun di Jawa tengah bagian selatan.


Tgl 13 juni.

Pasukan utamanya mulai bergerak ke ibu kota kesultanan Jogjakarta, mereka tiba secara diam-diam dan memasuki benteng Vredeburg pada waktu malam.


Besok : serbuan Inggris ke Keraton Jogjakarta.

Gambar : John Crawford - Residen Jogja.

Pangeran Diponegoro 10

 DIPONEGORO PAHLAWAN GOA SELARONG.

Bagian 10.

Oleh: Anggoro Ruwanto

Tanggal 31 Desember 1810.

Sultan Hamengkubuwono II dengan patuh menandatangani surat pernyataan penyerahan tahta keraton Yogyakarta kepada putera mahkota. Dan Deandels merasa ini adalah kemenangan politik yang harus dikabarkan kepada dewan Hindia di Batavia dengan perasaan bangga, namun sesungguhnya yang terjadi tidaklah demikian, walaupun secara dejure memang putra mahkota yang jadi raja, tetapi defacto sultan Hamengkubuwono II yang masih tetap memegang kekuasaan. Dan Sultan juga masih tinggal di keraton.

Mengapa Sultan mau saja diperlakukan secara hina oleh Daendels, karena Sultan sudah punya perhitungan sendiri. Dia menunggu waktu yang tepat untuk mengadakan pembersihan pada para pendukung putera mahkota, dan juga berpikir ulang untuk menghadapi tentara Deandels sebanyak 3.200 serdadu yang ditempatkan di keraton Jogja.


Tgl 4 Januari 1811. 

Daendels menarik mundur tentara nya setelah mendapatkan uang ganti rugi sebesar 196.320 dollar Spanyol ( kira-kira 20 juta dollar US ) dan dibayarkan dalam bentuk koin perak, dan disetorkan ke benteng Vredeburg.

Semua diatur oleh Patih Danureja II, yang juga mengawasi pembayaran itu, tapi ada desas-desus bahwa ia menggelap kan sebanyak 20.000 ronde realen, yang kelak akan menyebabkan dia dibunuh.

Dengan demikian kedatangan Daendels ke Keraton Yogyakarta menghasilkan tiga penghinaan kepada Sultan Hamengkubuwono II. Yaitu : 

1. Memaksakan perjanjian yang semena-mena dan menjatuhkan kedudukan Sultan.

2. Di rampoknya  seperlima harta Keraton.

3. Merendahkan gelar Sultan dengan memberikan kepada putera Mahkota tanda jasa berupa bintang ORDE VAN de UNIE yang diberikan raja Louis  pada tanggal 14 February 1811.

Hal ini menyebabkan kecemburuan yang besar pada Sultan Hamengkubuwono II karena Patih Danureja II berhasil membujuk putera mahkota untuk mengenakan bintang jasa ini pada peringatan hari lahir Napoleon 15 Agustus. 


ANCAMAN PERANG SAUDARA: 

Awal tahun 1811 dimulai dengan suasana perpolitikan yang memanas, di jogjakarta. Putera mahkota mulai ingin mandiri dalam tindakan sesuai jabatannya.

Maka dia mulai : 

1. Menunjuk bupati-bupati baru.

2. Membagi bagikan lahan sawah garapan kepada para Bupati baru.

Namun semuanya ini tidak terlaksana karena pada bulan Mei para Bupati baru ini dipecat oleh Sultan, dan tanah-tanah yang dibagikan ditarik kembali.

Bulan Juni 1811.

Sultan bermaksud mengganti putera mahkota dengan putera mahkota yang lebih muda, yaitu Mangkudiningrat.

Dalam catatan Diponegoro : Hal ini disebabkan desakan dua istri sultan, yaitu Ratu Kencono Wulan, dan Ratu mas, ( ibunda Mangkudiningrat ) babad Diponegoro 11:54.


Selama putera mahkota ada di singgasana nya maka situasi Jogja semakin kacau, sejumlah perampokan, dan penyerangan ke tangsi-tangsi Belanda makin sering, issue nya sultan ada dibalik semua peristiwa ini. Dengan tujuan menggoyang kedudukan putera mahkota. ( Carey 2008:274 )


Pada awal tahun yang sama, Inggris di Malaka sedang bersiap siap menyerbu Jawa. Dengan : 

1. 12.000 serdadu Inggris yang terlatih digaris depan.

2. Batalion-batalion Sepoy Benggala yang berani mati.

3. Pasukan artileri berkuda dari Madras.


Tgl 27 February 1811.

Datang kabar yang menggembirakan bagi Keraton Jogja, karena Perancis berhasil mengalahkan Belanda dengan demikian seluruh jajahan Belanda di ambil alih oleh Perancis.

Ada upacara penurunan bendera Belanda dan dinaikkan nya bendera Perancis di lapangan keraton disertai tembakan meriam lima kali dari dalam benteng Vredeburg. Dan pengangkatan sumpah setia kepada kaisar Napoleon yang diikuti oleh seluruh pejabat keraton dan Belanda.

Dan pengangkatan Gubernur jenderal baru yaitu Jan Willem Janssens. Yang menggantikan Daendels pada tgl 16 Mei.

Masa pemerintahan Janssens tidak banyak membawa perubahan karena sebelumnya keuangan pemerintah Belanda di Batavia sudah bangkrut karena banyak di korupsi para pejabatnya termasuk Daendels.


RAFFLES.

Desember 1810, Dari Malaka Raffles banyak mengirim surat kepada raja-raja Nusantara, yang isinya antara lain : 

1. Jangan membuat kesepakatan apapun dengan pemerintah Belanda / Perancis, tunggu saja kedatangan Inggris yang siap membantu mereka mengakhiri hubungan dengan Belanda / Perancis.

2. Khusus untuk Sultan Hamengkubuwono II, Raffles menjanjikan memulihkan kedudukannya, dan mengembalikan hak-haknya secara penuh seperti sebelum ada perjanjian dengan Belanda / Perancis.

3. Membatalkan semua kontrak-kontrak yang sudah di tandatangani antara Sultan Hamengkubuwono II dengan putera mahkota ( Sultan Hamengkubuwono III ).


Tgl 3 Agustus 1811.

Inggris melakukan pendaratan besar-besaran, sebanyak 81 kapal angkut dan kapal perang tiba dilepas pantai Batavia - Cilincing. Dan pada tgl 8 Agustus Batavia berhasil direbut. Dan gubernur jenderal Hindia Belanda yang baru Jan Willem Janssens mencoba bertahan di benteng baru yang dibangun Daendels di Meester Cornelis ( Jatinegara ) namun akhirnya jatuh juga ke tangan Inggris pada tgl 26 Agustus setelah melewati pertempuran yang berdarah-darah, mengakibatkan 500 tentara Inggris tewas, dan korban di pihak Belanda separuh dari serdadu Eropa dan Ambon tewas, dan 80% pasukan bantuan dari Jawa dan Madura tewas. Demikian banyaknya korban tewas yang tidak bisa lagi dimakamkan, sehingga hanya dilemparkan kerawa-rawa. Yang kelak nama wilayah itu terkenal dengan sebutan RAWA BANGKE ( Schoel 1931:313 ).


Jan Willem Jenseens mundur ke Semarang, dan menyusun kembali kekuatan militer nya. Namun sepertinya sia-sia karena telah kehilangan seluruh pasukan artileri nya di Cornelis. Benar saja, karena pad tgl 12 September pasukan Inggris dan Sepoy dibawah komandan kolonel Samuel Gibbs. Mendarat di Semarang dan empat hari kemudian di Jati ngaleh dekat Srondol, Jenssens dan sekutunya ( tentara bayaran Jawa + Madura ) dapat dikalahkan.

Jenseens kemudian mundur ke Salatiga dan bertahan di benteng Belanda " De Hersteller " namun hal ini tidak berlangsung lama karena pada tgl 18 September, diatas jembatan kali Tuntang, dia harus menandatangani pernyataan menyerah.

Semua pejabat sipil Belanda dibebaskan untuk melanjutkan pekerjaannya dibawah penguasa Inggris. Tetapi semua pejabat militer nya ditawan dan dikirim ke Benggala. ( Thorn 1815:101 ).


Diujung kehancuran pemerintah Belanda / Perancis. Di Jawa tengah bagian selatan, gerombolan-gerombolan perampok yang direstui raja-raja di Jawa merampas i para pejabat Belanda / Perancis yang sedang melakukan perjalanan pengungsian, ataupun meminta perlindungan.


Tgl 21 September 1811.

Ajudan Lord Minto ( Raja muda Inggris di India ) yang bernama William Robinson mengadakan pertemuan dengan Raja Surakarta Pakubuwana IV. Demikian juga pertemuannya dengan Sultan Hamengkubuwono II di Jogja, yang intinya pemulihan kembali semua hak-hak keraton seperti sebelumnya.

Catatan Diponegoro : Sultan sepuh ( Hamengkubuwana II / kakeknya ) sangat bergembira ( geng tyasipun ) bahwa Belanda sudah sirna dan dia dapat melakukan pembalasan kepada para pesaingnya didalam keraton. Babad Diponegoro II : 55.


Segera Sultan Hamengkubuwono II memberikan perintah kepada seluruh bupati dan para pejabat dibawahnya untuk tidak merundingkan hal apapun dengan pejabat Eropa.


Tgl 28 Oktober 1811.

Patih Danureja II dipanggil sultan untuk menghadiri pasewakan Ageng ( pertemuan seluruh pejabat keraton ) dan pagi itu dengan langkah goyah dan hati berdebar-debar Patih berusaha tetap hadir.

Namun saat memasuki paviliun Purworetno, ia ditangkap oleh tujuh pejabat keraton senior, yang dipimpin oleh Adipati Sumodimingrat. Dia dicekik dengan tali / Lawe putih, yang membuat nya meronta-ronta sebelum menghembuskan nafasnya yang penghabisan.

Esoknya jenasah nya dibawa ke selatan untuk dimakamkan di pekuburan para penghianat, diluar Imogiri. Tempat dimana jasad Raden Ronggo sepuluh bulan sebelumnya dimakamkan.


Besok : nasib putera mahkota ( sultan Hamengkubuwono III - ayah Diponegoro )

Gambar : Sir Thomas Stamford Raffles.

Pangeran Diponegoro 9

 DIPONEGORO PAHLAWAN GOA SELARONG.

Bagian 9. PERGERAKAN RADEN RONGGO.

Oleh: Anggoro Ruwanto

Dukungan kepada Raden Ronggo juga didapatkan dari para pangeran dan penguasa di Jawa tengah bagian selatan, termasuk Pangeran Natakusuma dan anaknya Notodiningrat, yang setelah ketahuan oleh Residen jogja, segera rumahnya dikawal ketat pasukan Belanda, dan kemudian mereka dikirim ke Batavia pada tanggal 17 Desember, kemudian mereka ditahan dibenteng Meester Cornelis ( sekarang Jatinegara ) lalu dikirim lagi ke Cirebon untuk di eksekusi.


Daendels juga memerintahkan Residen Jogja Engelhard memenjarakan sultan Hamengkubuwono II dan Panglima nya Sumodimingrat.. tapi ditolak oleh Engelhard karena Sultan mau bekerjasama. Nyatanya Sultan sudah mengirimkan pasukan nya untuk menangkap Raden Ronggo.


Tetapi inilah yang terjadi di lapangan, pengejaran ini tidak membawa hasil, karena komandan pasukan pengejar ini, Purwodipuro, justru asik berdagang opium, candu dan pertukaran mata uang ( money changer ). Dan yang melanjutkan pengejaran adalah bekas kusirnya Sri Sultan, yaitu sersan Lucas Leberveld. Seorang peranakan indo german kelahiran Batavia. ( Bataviasche kolonialis courant 3, 18-1-1811 ).


Namun Pemberontakan Raden Ronggo ini banyak mengalami kekalahan karena Daendels memanfaatkan jalan pos yang dibangun nya untuk mempercepat pergerakan pasukan dan persediaan logistik.

Tanggal 2 Desember 1810 Daendels mengerahkan 3000 infanteri, 2 skuadron kavaleri dan dua kompi artileri yang ditarik kuda, yang tiba 4 hari kemudian di Semarang, sedangkan Daendels sendiri tiba lewat laut dan tiba di Semarang tgl 10 Desember. Yang dilanjutkan dengan pengejaran Raden Ronggo, yang makin terjepit karena para Bupati bawahannya setelah mendengar kehebatan pasukan Daendels tidak lagi mau mendukung.

Hanya tinggal Mas Tumenggung Sumonegoro dari Kadipaten Padangan yang masih mau mendukung nya.

Sepanjang perjalanan menuju kediamannya ( Maospati ) Raden Ronggo bersama pasukannya harus bertempur mati-matian tidak hanya harus melawan pasukan Belanda tapi juga melawan pasukan Keraton Jogjakarta, dan pasukan penguasa-penguasa pribumi yang jadi bawahan Sultan Hamengkubuwono II.

Sementara hujan lebat terus mengguyur, di Magetan panglima perangnya yang bernama Dasamuka, mati terbunuh.


Tgl 17 Desember 1810.

Dalam serangan penghabisan di tepi Bengawan solo, terjadi Pertempuran hebat antara senapan lawan senapan, pedang lawan pedang, bayonet lawan bayonet, juga keris tak ketinggalan. Pasukan Raden Ronggo terdesak, sehingga banyak anak buahnya yang melarikan diri masuk kehutan, tinggal menyisakan Raden Ronggo, wakilnya Sumonegoro, dan Patih nya Mas Ngabehi Puspodiwiryo, serta beberapa orang pembawa panji-panji.

Diantara suara desingan peluru dan dentingan pedang, seorang Bupati Jogja yang berada dipasukan Leberveld, berteriak kepada Raden Ronggo " apa yang dia inginkan " 

Dan dijawab oleh Raden Ronggo, bahwa ia tidak ingin menyusahkan siapa saja, tetapi ia akan membunuh siapa saja yang menjadi beban orang Jawa dan orang Tionghoa di mancanegara ( Jawa timur ). Selesai bicara Raden Ronggo melompat dari kudanya dan menyerang bupati itu dengan tombaknya, namun bupati itu berhasil mengelak bahkan bisa menancapkan pedangnya ke dada Raden Ronggo, kemudian Leberveld memerintahkan serdadu infanteri nya mengepung dan menghabisi Raden Ronggo, yang segera jatuh ke bumi dengan luka-luka tusukan dan sobekan pedang di sekujur tubuhnya. Nasib yang sama juga dialami oleh wakilnya, Sumonegoro yang segera dikeroyok pasukan infantri begitu jatuh kehabisan tenaga.

Mayat keduanya lalu dibersihkan di Bengawan solo, dibungkus dengan kain putih, lalu dibawa ke Jogja.


Tgl 21 Desember 1810.

Jenasah Raden Ronggo dan Sumonegoro digantung di perempatan pangurakan, dekat gardu, di alun-alun Utara. Atas perintah Sultan Hamengkubuwono II. Dimana biasanya jasad para kriminal dipertontonkan kepada rakyat. Sehari kemudian jasad mereka dimakamkan di pekuburan para penghianat - Banyusumurup, sebelah tenggara pemakaman Imogiri.

Dan Diponegoro menyaksikan semua peristiwa itu dengan penuh kepahitan, karena kakeknya ( Hamengkubuwana II ) menjadi penghianat bagi pahlawan yang sangat dikaguminya. Dan menurut nya, ini adalah dosa besar yang mengakibatkan runtuhnya kesultanan Jogjakarta. ( Babad Diponegoro II : 52 ).


Sebelum kematian Raden Ronggo, Daendels sudah memutuskan ia akan mengubah secara radikal wajah keraton Jogja, dan memberi isyarat kepada residen-residen Belanda, dan perdana menteri keraton-keraton dipesisir Utara, bahwa ia akan memaksa Sultan Hamengkubuwono II turun tahta dan menggantikannya dengan putera mahkota, yaitu Raden mas Sudjono ( ayah dari Pangeran Diponegoro yang pro Belanda - lihat postingan sebelumnya ).


Tgl 26 Desember 1810.

Daendels dengan pengawalan 3.200 serdadu, berderap ke Jogja, saat mereka sudah sampai gerbang Mataram lama di Kemloko, antara Tempel dan Pisangan, datang kabar gembira, yaitu kematian Raden Ronggo.

Daendels melanjutkan perjalanannya ke Jogja untuk membuktikan sendiri kabar itu dan ada kepentingan nya yang mendesak, yaitu menagih uang persahabatan dari Sultan Hamengkubuwono II untuk membayar para serdadu nya.


Uang persahabatan ini sangat besar tagihannya, wakil Deandels, Van Braam menerima 10.000 $ Spanyol. Pieter Engelhard dan Gustaf Willem Wiese masing-masing menerima 5000 $ Spanyol. Letnan jenderal Hendrik Markus de Kock, menerima 5000 $ Spanyol. Daendels sendiri pasti menerima jatah paling besar kurang lebih 20.000 $ Spanyol.


Tgl 28 Desember 1810.

Deandels tiba di Jogja, dan langsung menuju ke kediaman Residen Jogja Engelhard. Dan menyuruh seorang pegawai rendahan Belanda untuk memanggil Sultan. Suatu penghinaan yang luar biasa, Diponegoro dan Sumodimingrat yang amat tersinggung segera mempersiapkan pasukannya, tetapi sultan ragu-ragu dan banyak pertimbangan dalam mengambil keputusan. ( Babad Diponegoro II : 53 )


Besok : peralihan kekuasaan.

Gambar : Prasasti di makam Raden Ronggo. Berbunyi " KPAH RONGGO PRAWIRODIRDJO III ADIPATI MAOSPATI MADIUN KE III. Dihukum mati sebagai pemberontak melawan penjajahan Belanda dan dimakamkan di makam pemberontak Banyusumurup th. 1810.

Dinyatakan sebagai pejuang perintis melawan Belanda, oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX tahun 1957. Dan dimakamkan kembali di Giripurno, makam permaisuri nya, Puteri HB II. GBR Ay. Maduretno.

Minggu, 11 Oktober 2020

Pangeran Diponegoro 8

 DIPONEGORO PAHLAWAN GOA SELARONG.

Bagian 8.

Oleh: Anggoro Ruwanto

RADEN TIRTOWIDJOJO.

Adalah kepala distrik ( Demang ) dusun Tersono. Saat peristiwa perampokan itu terjadi, para perampok bisa melarikan diri dan bersembunyi di pedukuhan nya. Hal ini membuat Sultan memanggil Raden Tirto Widjojo untuk dimintai keterangan, tapi Deandels menuntut supaya dihukum mati, tentu saja Sultan tidak mau melaksanakannya karena Raden Tirto Widjojo masih kerabat dekat istri kesayangannya yakni Ratu Kencono Wulan. Lalu sultan mengusulkan supaya dihukum buang saja, namun Deandels menolak, akhirnya Raden Tirto Widjojo diserahkan kepada residen Jogja dengan kedua tangan di rantai, yang lalu mengirim nya ke Semarang, tengah malam Raden Tirto Widjojo dibawa ke jalan pos yang baru selesai dibangun, dan disanalah dia dihabisi oleh regu tembak. Jasadnya yang terkoyak-koyak oleh peluru dibiarkan tergeletak dipinggir jalan Waleri, yang dua hari kemudian baru diketahui oleh pihak keluarga yang kemudian menjemput nya dan memakam kannya secara Islam-jawa. ( Poensen 1905:148-9)


RADEN RONGGO.

Daendels menjadikan kematian Demang Tersono sebagai peringatan bagi siapa saja yang berani mengusik keberadaan Kompeni. Namun hal ini sudah terlambat, justru malah mempersatukan berbagai kelompok penentang menjadi satu visi mengenyahkan Belanda dan satu gerakan bersama.

Setelah Raden Ronggo mulai sembuh dari rasa duka Karena wafatnya Ratu Maduretno yang meninggal saat melahirkan.

Tiba-tiba saja ia dituduh dalang dibalik kerusuhan dan penyerangan markas kompeni di Ponorogo pada 31 Januari 1810. Yang menewaskan dua orang serdadu kompeni dan satu orang luka-luka.

Kesempatan ini dipakai oleh raja Surakarta, Pakubuwana IV, untuk memfitnah Raden Ronggo dengan mengirimkan pengaduan resmi kepada Daendels.

Bahkan pejabat Surakarta di Ponorogo, yaitu Tumenggung Wiryodiningrat, menambahkan dengan fitnahan bahwa Raden Ronggo ini sudah menampung seorang pelarian / desertir serdadu Belanda dirumahnya, dan juga menjadi penadah barang-barang curian berupa gamelan yang dirampok dari daerah sekitar Surakarta.

Daendels lalu memerintahkan sultan Jogja untuk menghukum Raden Ronggo, apabila tidak dilaksanakan maka akan menghadapi resiko diperangi oleh Belanda dan Surakarta.

Namun ada suatu kejadian entah direncanakan siapa ? Yang membuat keadaan politik Jogja menjadi seimbang. Yaitu saat residen Jogja Moorees berangkat ke Semarang untuk bertemu Deandels dan membuat laporan masalah-masalah kriminal diwilayahnya, istrinya ( Yacoba Margaretha ) berjalan-jalan ke padesaan dengan kereta kuda nya, namun di sandera oleh sekelompok orang bersenjata, yang kabarnya bertindak atas nama Sultan.

Hal ini membuat Daendels tidak berkutik, akhirnya kemarahan nya ditimpakan kepada Moorees dengan memecatnya.


Tgl 1 September 1810.

Pieter Engelhard kembali menduduki jabatannya yang lama sebagai residen Jogja. Kedatangan Engelhard membuat suasana Jogja kembali tenang.

Namun pada tgl 11 September 1810 terjadi perampokan besar-besaran terhadap seorang Tionghoa yang menjabat sebagai pemungut pajak petani di Demak.

Kawanan perampok ini datang dari desa Gabus, Grobogan - Wirosari, Jogjakarta. Yang berhasil dirampok adalah opium, uang tunai,dan perhiasan seluruhnya senilai 10.000 dollar Spanyol, atau 1 juta dollar US Sekarang. Daendels sangat marah sekali, karena baik Sultan maupun Raden Ronggo tidak mengambil tindakan sama sekali. Lalu Daendels mengultimatum Sultan supaya mengembalikan semua rampokan itu, dan diberi waktu 15 hari. Jika tidak dilaksanakan maka Jogja akan diserang tentara Belanda.

Atas ancaman ini sultan Jogja tidak terlalu menanggapi.

Pada awal bulan puasa Raden Ronggo berangkat pulang ke Madiun bersama rombongannya. Lalu memperkuat benteng Maospati dengan bambu-bambu runcing dan meriam-meriam. Juga ada korespondensi aktif antara dirinya dengan Pangeran Prangwedono alias Mangkunegara II. Dan ada kesepakatan bahwa apabila pasukan Mangkunegara II disuruh menyerang pasukan Raden Ronggo, maka mereka tidak akan memakai peluru tajam.

" Maka bertumpuk-tumpuklah, kesalahan Raden Ronggo Dimata Belanda" catatan Diponegoro di babad Diponegoro 11:50. hlm 114-5.

Tgl 30 Oktober 1810 pada waktu perayaan gerebeg puwoso, ketegangan hubungan antara Sultan dan residen Engelhard sampai pada puncaknya. Ditambah ambisi adiknya, yaitu Pakualam I ( Pangeran Natakusuma ) yang ingin menyatukan Surakarta dan Yogyakarta dengan memohon bantuan Belanda, juga tuduhan Daendels bahwa istri kesayangannya Ratu Kencono Wulan, bersekongkol dengan Raden Ronggo untuk melakukan Pemberontakan.

Daendels kemudian mengultimatum sultan supaya menyerahkan Raden Ronggo ke Batavia, sambil menggerakkan 2000 serdadu Belanda dari Semarang ke Jogja dibawah pimpinan kolonel Von Winckelmann. Saat serdadu Belanda sampai Boyolali, Sultan yang gentar terpaksa melepaskan Raden Ronggo untuk berangkat ke Batavia.

Dalam hal ini Diponegoro mencatat nya sebagai kritik atas kelemahan dan ketidak tegasan Sultan mempertahankan Raden Ronggo, yang menyebabkan kehancuran Jogja ( babad Diponegoro II : 52 )

Engelhard kemudian mengirim surat kepada panglima divisi Semarang supaya menarik pasukannya, disertai pepatah latin " Nulla salus bello, pax optima rerum " ( tidak ada keselamatan dalam perang, perdamaian adalah yang terbaik ).


Namun betapa terkejutnya Engelhard saat diberi tahu bahwa Raden Ronggo bukannya berangkat ke Batavia tetapi dia dan 300  rombongannya malah berangkat ke Madiun. Segera Engelhard memerintahkan Mangkunegara II untuk mencegat rombongan itu, namun terlambat mereka sudah melewati Delanggu.

Dalam keadaan terjepit antara dirinya, Raden Ronggo, dan Belanda, Sultan Hamengkubuwono II mengerahkan pasukannya sebanyak 1000 orang untuk memburu Raden Ronggo dibawah pimpinan iparnya, Raden Tumenggung Purwodipuro. Dengan perintah " bunuh ditempat apabila menolak kembali ke Jogja " namun kemudian ada perintah susulan untuk membunuh Raden Ronggo dimanapun ditangkapnya, karena Sultan akan malu apabila dibawa kembali ke Jogja.


Dalam hal ini Diponegoro mencatat " Sultan telah melanggar perjanjian suci antara ayah Hamengkubuwana II yaitu sunan Mangkubumi, dengan kakek Pangeran Ronggo yaitu Ronggo Wirosentiko, yang bunyinya : bahwa Sultan dan keturunannya tidak akan pernah menumpahkan darah keturunan Ronggo Wirosentiko walaupun ada kesalahannya. Sultan akan selalu mengampuni.: Dan hal inilah yang akan menyebabkan keruntuhan Jogja. ( Babad Diponegoro II : 57 )


Raden Ronggo rupa-rupanya sudah mempersiapkan Pemberontakan nya ini jauh-jauh hari sebelumnya.

1. Memperkuat benteng di Maospati.

2. Menjalin kontak dengan para Bupati bawahnya.

3. Mengikat perjanjian dengan Mangkunegara II

4. Mengumpulkan uang tunai untuk dana peperangan.

5. Membeli senjata dan membuat meriam-meriam baru.

6. Mendapatkan pinjaman uang dan perhiasan dari Ratu Kencono Wulan senilai 20.000 ronde real ( sekitar dua juta dollar US Sekarang )

7. Dan dana 800 dollar Spanyol dari seorang pedagang textile Prancis.

8. Menjalin hubungan yang erat dengan pendekar-pendekar dan komunitas Tionghoa di Lasem, Tuban dan Sidayu pantai Utara.


Misi dari Raden Ronggo adalah " membersihkan pulau Jawa dari pencemaran kekuatan-kekuatan asing "


Besok : Pemberontakan Raden Ronggo.

Gambar : Raden Ronggo.

Pangeran Diponegoro 7

 DIPONEGORO PAHLAWAN GOA SELARONG.

Bagian 7.

Oleh: Anggoro Ruwanto

INSIDEN PERTAMA.

Terjadi pada tgl 15 Oktober 1808. 

Pada pagi itu Residen Van Braam dan istrinya hendak kembali ke Surakarta, saat kereta mereka mau masuk jalan utama, dan sudah setengah badan kereta, ketika tiba-tiba rombongan berkuda Raden Ronggo melaju dengan cepat melintas di depan kereta Residen Van Braam dan terus berderap melaju tanpa menoleh apalagi berhenti sama sekali.

Kejadian ini membuat kusir kereta Residen terkejut dan cepat-cepat menarik kendali, sehingga kuda-kuda itu juga terkejut meringkik dan berdiri sambil mengangkat kedua kaki depan nya. Hampir saja residen terlempar keluar dari kereta karena pintunya belum tertutup sempurna.

Residen Van Braam melaporkan ini kepada Sultan Hamengkubuwono II dan Sultan kemudian menyuruh Raden Ronggo meminta maaf.. yang kemudian dilaksanakan. 

Namun Residen Van Braam belum puas, dia menuntut supaya permintaan maafnya dilakukan didepan seluruh pejabat keraton.

Dengan wajah merah padam menahan marah Raden Ronggo melakukan nya, hanya karena tidak enak hati kepada Sultan Hamengkubuwono II saja. 


INSIDEN KEDUA.

Terjadi pada tgl 16 Oktober 1808.

Saat Residen Van Braam berkereta ke Klaten untuk menanda tangani Perjanjian serikat pekerja kuli panggul,  lagi-lagi berserobokan dengan Raden Ronggo dan rombongannya yang juga hendak berangkat ke Klaten sebagai utusan jogjakarta mewakili Sri Sultan Hamengkubuwana II untuk menandatangani surat perjanjian yang sama.

Memang tidak sampai terjadi apa-apa secara fisik, tetapi wajah geram Raden Ronggo diperlihatkan terang-terangan kepada Residen Van Braam.

Dan inilah laporan Van Braam yang dia tulis untuk Daendels : 

" Orang yang berbahaya, cepat naik darah, pembenci, banyak ulah, dan tidak mau mengalah, akan jadi musuh Belanda nomer satu. "


INSIDEN KE TIGA.

Pada tanggal 3 Desember 1808.

Mantan Residen Rembang Gustaf Wilhelm Wiese, dilantik oleh Pieter Engelhard sebagai Residen jogjakarta, dan diperkenalkan kepada sultan Hamengkubuwana II. 

Semuanya berjalan baik dan normal sampai pada tgl 22 Desember 1808 Wiese menulis surat kepada Sri Sultan Hamengkubuwana II untuk minta sumbangan uang tunai sebagai tanda persahabatan.

Yang jumlahnya sangat besar dan memaksa.  Tentu saja hal ini membikin Sultan dan para pejabat keraton meriang panas dingin menahan rasa terhina dan marah.

Sementara hal ini masih dijadikan tawar menawar. Diam-diam Sultan memerintahkan semua prajurit dan awam di mobilisasi untuk persiapan perang. 

Diponegoro mencatat : banyak sekali rakyat yang bila keluar rumah berpakaian perang dan pedang di pinggang.


Tgl 29 Juli 1809.

Diponegoro ditugaskan untuk menyambut Daendels di Kalasan, dalam hal ini Diponegoro memimpin prajurit kadipaten bersama kedua adiknya Adinegoro dan Suryobrongto.

Dan Deandels merasa sangat puas dengan semua perjamuan dan tontonan yang dihadirkan untuk menyambut nya.

Namun semuanya hanya basa-basi tanpa membuahkan komitmen yang jelas. Diponegoro sendiri mencatat : Kathah wicoro kang nora dadyio .


KISRUH KAYU JATI.

Sementara semua penyambutan Daendels masih berlangsung, sebaliknya di wilayah Jawa timur dan pesisir pantai Utara, makin memburuk, karena sejak Juli Daendels menuntut sultan untuk : 

1. Membuka akses hutan jati, supaya Belanda bisa ikut mengelola.

2. Larangan bagi pengusaha swasta kayu jati melewati pesisir Utara yang dikuasai Belanda. 

3. Belanda memonopoli perdagangan kayu jati, yang disubkontrakan kepada pengusaha-pengusaha Tionghoa.


Tanggal 27 April 1809 para Bupati wilayah timur pada menghadap Sultan, untuk mengadukan masalah ini, dimana para Bupati ini yang banyak kehilangan pendapatan dan rakyat kecil makin terjepit, karena mereka tidak bisa lagi memanfaatkan lahan antara untuk tumpang sari, tidak bisa lagi mencari entung jati, tidak bisa lagi mencari kayu-kayu yang kering, dan tidak bisa lagi memanfaatkan daun jati untuk bermacam-macam keperluan. Terjadi penangkapan dan penyiksaan kepada rakyat kecil apabila memasuki area hutan jati.


Untuk buruh kayu jati pun para pengusaha swasta itu menyewa dari daerahnya sendiri, sehingga banyak dari rakyat lokal jadi pengangguran dan bertindak kriminal. Hutan Kedawung perbatasan antara Pekalongan dan Kendal menjadi basis para perampok yang melakukan aksi aksinya disepanjang Pantura.


Sultan mendengarkan semua keluh kesah itu dan berjanji akan berpihak pada mereka, namun tidak ada tindakan apapun yang konkrit.

Sebaliknya kerusuhan demi kerusuhan mulai makin sering terjadi di wilayah timur.

Dalam hal ini Belanda menuduh Raden Ronggo berada dibalik semua peristiwa ini, Raden Ronggo lah dalangnya. Sehingga Raden Ronggo sering dipanggil ke Semarang. Hal ini membuat nya makin marah dan frustasi apalagi istri yang sangat di sayanginya ( Ratu Maduretno ) tiba-tiba saja meninggal dunia.


Suasana makin panas dan makin tidak kondusif karena makin banyak penduduk pesisir yang mengungsi ke wilayah keraton, karena menghindari kerja paksa / rodi membuat jalan raya trans Jawa yang di arsiteki oleh Daendels.

Sekitar 12000 orang Jawa tewas dalam kerja paksa itu, dan hampir sepertiga nya tewas untuk jalur yang dipantai Utara saja.


Melihat sendiri kesulitan para pejabatnya dan rakyat nya, sultan memanggil Raden Ronggo untuk datang ke Jogja dengan seluruh pasukannya tetapi harus menyamar dan datangnya jangan bergerombol. Dengan alasan persiapan Gerebeg puoso.

Walaupun sebenarnya ini adalah persiapan Jogja dalam rangka memperkuat pertahanan nya.

Dan meninggikan tembok benteng 5 sampai 6 meter, juga sudut-sudutnya, serta mengecor meriam-meriam baru di Gresik, dan membuat persenjataan baru / senapan / bedil + bayonet nya, di Kotagede.

( Loew & de Klerck 1894-1909, II : 283 ).


Entah bagaimana semua persiapan itu sebagian ada yang sampai ke telinga Daendels, sehingga dia bereaksi dengan mengangkat seorang residen baru yang tegas dan keras, yaitu Johannes Wilhelmus Moorrees. Pada tgl 9 Maret 1810. Yang pernah bertugas di Banten setelah kesultanan Banten di hapus.

Belum lama menempati posisi nya di Jogja tiba -tiba ada serangan di Wonodadi sebuah desa di Pekalongan. Issuenya Peristiwa serangan dan perampokan Loji Belanda ini digerakkan oleh seseorang dari Jogja. Tepat nya dari desa Tersono di wilayah Kedu.

Deandels segera memerintahkan untuk menangkap pemimpin perampokan ini.


Besok : siapakah dalangnya, apa akibatnya ?

Gambar : Daendels sedang inspeksi pekerja rodi jalan raya pos Anyer - Panarukan.

Pangeran Diponegoro 6

 DIPONEGORO PAHLAWAN GOA SELARONG.

Bagian 6. PUTERA MAHKOTA ( ayahnya Diponegoro, calon Sultan Hamengkubuwono III)

Oleh: Anggoro Ruwanto

Pieter Engelhard ( residen Surakarta ) melaporkan, pagi-pagi buta sudah terlihat banyak kesibukan di rumah putera mahkota, yang terletak disudut timur keraton.

Disana Residen dikawal oleh sembilan ningrat muda yang belum menikah ( bujang-bujang ) yang di sebut Pandji. Yang mengiringi nya menuju ke tempat pertemuan resmi / Paseban / Pesanggrahan dialun alun Utara.

Setelah melihat bala tentara Sultan berbaris keluar dari Keraton, maka rombongan residen Pieter Engelhard masuk dalam ekor barisan itu yang panjangnya mencapai lima kilometer menuju Pesanggrahan.

Pada waktu makan siang Engelhard mengawasi tindak tanduk putera mahkota, dan inilah kesimpulannya " wataknya baik, penampilan nya bersahabat dan berwibawa, yang membuatnya dicintai oleh semua orang dan rakyat nya "

Dalam perjamuan ini, putera mahkota memperlihatkan sikapnya didepan ayahnya ( Sultan Hamengkubuwono II ) bahwa dia mempunyai prinsip pro Belanda, dengan cara meminta supaya tehnya dicampur susu seperti tamu-tamu Belanda ( d'almaida 1864, II : 79 ) dan berteriak dengan lantang " Bahwa semua kerabat dan pejabat keraton hendaknya mulai hari ini memakai bahasa Melayu kepada semua pejabat Belanda karena itulah bahasa resmi para sahabat Sultan yaitu pejabat-pejabat Belanda."

Dimulai dari sinilah jurus-jurus politik putera mahkota dimulai dengan masalah bahasa yang berlawanan dengan prinsip ayahnya yang justru menganggap bahasa Melayu adalah bahasa pitik dan Sultan walaupun bisa berbahasa Melayu tetapi untuk berbicara dengan para pejabat Belanda tetap memakai bahasa Jawa Ngoko ( walaupun nantinya diterjemahkan oleh petugas penerjemah ).

Demikian pula hal ini mempunyai dampak lanjutan, yaitu mulai terbelahnya kerabat dan pejabat keraton, antara yang pro dan yang kontra pada Belanda.

Menjelang siang regu pasukan kavaleri / berkuda Diponegoro dipersilahkan memasuki alun-alun, dan selama dua jam mereka mendemonstrasikan jurus-jurus pertempuran dengan memaki tombak, pedang, dan bedil / senapan Laras panjang. Didepan para tamu pejabat Belanda.

Namun terlihat sekali tentara Jogja ini lemah sekali dalam ketrampilan memakai bedil, tetapi lihai sekali memainkan tombak panjang dan pedang nya. ( Kelak pasukan Raffles bisa merasakannya ketika menyerang Jogja pada Juni 1812 ).

Sementara semua peristiwa ini berlangsung, ternyata Daendels diam-diam sudah tiba di Semarang beserta dengan 3000 pasukan kavaleri, dan artileri / meriam lapangan. Ia ingin memperlihatkan kepada Sultan, betapa dahsyatnya kekuatan militer Belanda. Jadi dia mengundang beberapa pejabat keraton Jogja untuk hadir di Semarang, menyaksikan tentara Belanda ber- olah senjata mempertahankan pulau Jawa.

Rombongan Jogja berangkat pada tgl 12 Juni dipimpin oleh Raden Ronggo. Namun rombongan ini terang-terangan memperlihatkan sikap bosan dan muak pada semua pameran Daendels.

Hal ini membuat Deandels marah dan membiarkan rombongan Jogja pulang tanpa seremonial apapun dan Daendels menolak menitipkan salam untuk Sultan.

Hal ini sangat berlawanan / berbeda sekali penyambutan nya pada dua delegasi rombongan Surakarta ( Kasunanan dan Mangkunegaran ) karena delegasi Surakarta ini waktu berkunjung ke Semarang memperlihatkan sikap hormat dan persahabatan pada para pejabat Belanda. Sehingga Daendels menganugerahkan jabatan / pangkat Letnan Kavaleri kepada Raden Malikan Saleh ( putera mahkota Surakarta yang kelak menjadi Pakubuwana VII ) dan kepada Pangeran Prangwedono ( yang kelak menjadi Mangkunegoro II ) dipromosikan sebagai Kapten penuh tentara kerajaan Belanda yang berkekuatan 1.150 orang ( legiun ).

Dengan demikian Pangeran Prangwedono diakui secara resmi sebagai pejabat militer yang sah dari kerajaan Belanda. 

Dan memang akhirnya Pangeran Prangwedono tetap setia kepada Belanda hingga wafatnya ( Januari 1835 ).


BANGKITnya SENTIMEN ANTI BELANDA di JOGJA.

Kalangan elite keraton Jogja yang menghayati betul semangat tempur Mangkubumi sadar betul bahwa maklumat Daendels itu mengancam eksistensi mereka. Bila putera mahkota bersikap pro Belanda, maka mereka mengambil sikap yang berbeda.

Awal Agustus, Sultan Hamengkubuwono II dimasa puncak krisis hubungan Jogja dengan Belanda, dengan tenang menunjuk kembali panglima perangnya yang terkenal Raden Tumenggung Sumodimingrat, untuk menduduki jabatan Patih Jero, sebuah jabatan kunci yang mempunyai akses langsung kepada Sultan.

Tumenggung Sumodimingrat tidak mempunyai anak, oleh sebab itu ia mengangkat anak ( adik laki-laki nya Diponegoro ) yang bernama Pangeran Adinegoro, melalui adik kandungnya inilah Diponegoro bisa mewarisi wilayah SELARONG yang kelak menjadi markas utamanya.

Walaupun suka berjudi dan mabuk-mabukan tetapi apabila sudah dimedan perang maka Tumenggung Sumodimingrat berubah menjadi macan liar yang sangat menakutkan. 


Sikap anti kolonialisme ini makin kentara diwilayah lingkaran dalam keraton, terutama hal peraturan tata upacara baru yang dari Daendels. Tumenggung Sumodimingrat langsung mengusulkan untuk menolak aturan itu. Karena hanya akan makin merendahkan pamor para pejabat keraton.

Dalam hal ini para pejabat inti istana terbelah dua sikapnya.

Raden Ronggo ( menantu Sultan Hamengkubuwono II ) jelas anti Belanda, dia meninggalkan pasewakan agung dengan wajah marah. Raden Ronggo yang bersikap tegas dan berani memberontak inilah yang jadi teladan Diponegoro.

Wajah tampan dan sikap keras berapi-api inilah yang kelak diwariskan kepada puteranya yang bernama SENTOT ( kelak menjadi panglima perangnya Diponegoro dengan gelar Alibasyah ).


Segera banyak laporan yang diterima Daendels tentang penentangan Sultan Hamengkubuwono II kepada maklumat nya. Membuat Deandels geram dan mengancam akan segera datang ke Jogja dengan kekuatan penuh. Dan mengancam sultan dengan tuduhan tidak setia kepada kerajaan Belanda.

Sementara itu Daendels juga memerintahkan kepada sultan untuk membuka akses hutan-hutan jati diwilayah timur kepada Belanda. 

Daendels juga menunjuk Gustav Wilhelm Wiese sebagai pejabat administrasi kehutanan yang baru, dan memerintahkan kepada para bupati diwilayah timur ( Madiun, Padangan dan Panolan ) untuk datang ke Jogja guna menerima instruksi darinya.

Hal ini kelak disikapi dengan Pemberontakan oleh Raden Ronggo, yang kemudian diikuti oleh Bupati Padangan, Mas Tumenggung Sumonegoro, dan Bupati Panolan, Raden Tumenggung Notowidjoyo III ( mertua Diponegoro ). Semua ini tidak luput dari pengamatan Diponegoro.

Daendels juga mencurigai Keraton sering dijadikan tempat persembunyian para Gegedug ( tokoh-tokoh preman ) yang menggangu logistik dan mencuri persenjataan Belanda.

Untuk hal ini Daendels mengajukan kesepakatan baru yang mengatur antara lain : 

1. Hukuman dan ketertiban.

2. Soal kuli panggul.

3. Soal pengerahan tenaga kerja / rodi dalam pembuatan jalan post ( postweg ) trans Jawa.


Kesepakatan ini ditandatangani oleh dua orang patih, satu dari Surakarta dan satu dari Jogjakarta. Penandatanganan ini terjadi di Klaten.


Daendels juga menuntut supaya keraton Jogjakarta maupun Surakarta mengirimkan Patih-patihnya ke Semarang untuk menghormatinya sebagai Gubernur jenderal yang berkuasa atas mereka (:raja-raja ) dan sambil membawa cenderamata / bulubekti sebagai tanda hormat mereka kepada kerajaan Belanda.

Itupun Daendels tidak mau menemui para utusan, dia hanya mewakilkan kepada sekjennya yaitu Hendrik Veeckens untuk menerima persembahan mereka atasnama dirinya dan membacakan ulang aturan-aturan yang sudah disepakati bersama. ( Dalam suasana penuh tekanan tentunya ).


TARUNG MACAN vs BANTENG.

Tidak lama setelah para Adipati pulang dari Semarang, datanglah Van Braam deputi Daendels ke jogjakarta bersama istrinya dalam kunjungan resmi, setelah beberapa hari sebelumnya singgah di Surakarta. 

Sudah lazim bagi Keraton Yogyakarta dalam menyambut tamu istimewa mengadakan pertunjukan adu kuat antara Banteng 🐃 dan Harimau / macan 🐅. Di alun alun selatan.

Pada ronde pertama si macan merobek otot kaki sang banteng, namun anehnya si macan tidak mau melanjutkan pertarungan. Akhirnya digantikan dengan memasukkan macan yang baru, lebih aneh lagi... Begitu melihat sang banteng, si macan tidak mau bertarung malah melarikan diri dengan cara melompati para penjaga yang bersenjatakan tombak, akhirnya si macan dapat dibunuh para penjaga di belakang panggung kehormatan. Dimana sultan duduk dengan para tamu kerajaan.

Bagi orang Eropa, Van Braam, ini mungkin hanya sekedar hiburan. Tetapi bagi masyarakat Jogja / Jawa pada waktu itu, pertunjukan ini mempunyai makna yang sangat mendalam, karena macan yang kuat dan gesit dan mematikan adalah simbol orang Belanda, sedangkan banteng liar yang kuat adalah simbol orang Jawa.

Ini artinya walaupun peperangan pertama Belanda bisa melemahkan pasukan Jawa tetapi tidak bisa mengalahkan, sedangkan pada ronde kedua jelas-jelas Belanda akan langsung ketakutan melawan pasukan Jawa yang sudah lebih siap.

Peristiwa ini lah yang terus membakar semangat pasukan Diponegoro kelak.


Besok : Insiden Diplomatik.

Pangeran Diponegoro 5

 DIPONEGORO PAHLAWAN GOA SELARONG.

Bagian 5. PULANG.

Oleh: Anggoro Ruwanto

Diponegoro kembali ke Tegalrejo pada pertengahan 1805 dan sudah nampak kewibawaannya. Dan dia sudah tahu persis takdir nya.

Namun yang terus memberatkan pemikiran nya ialah suara yang ia dengar pada kunjungan nya terakhir ke Parangkusumo, malam terakhir itu dia mendengar suara tentang bubrahnya tanah Jawa dalam tiga tahun kedepan.


AWAL RUNTUHNYA TATANAN TANAH JAWA.

Adalah ramalan yang disampaikan kepada Diponegoro dipantai Parangkusumo oleh suara gaib pada awal tahun 1805.

Dan hal ini mulai digenapi, karena genap tiga tahun kemudian, pada 5 Januari 1808, marsekal Herman Willem Daendels tiba di Batavia untuk menjabat sebagai Gubernur jenderal. Dan Deandels sudah mempunyai gambaran sendiri tentang wajah perpolitikan keraton-keraton di Jawa. Baginya kemandirian para raja-raja itu sangat membahayakan posisi Belanda, karena kekuatan dan pengaruh para raja-raja itu potensial menjadi saingan kerajaan Belanda, dan sikap mereka yang hipokrit / munafik / mencla-mencle / penjilat dan tidak bisa dipegang perkataannya itu bisa menjadi musuh dalam selimut.

Bahkan sebelum meninggalkan Belanda, Daendels sudah mempunyai prasangka buruk terhadap Sultan Hamengkubuwono. Hal ini dicatat oleh pejabat VOC yang bernama Nicolaus Engelhard " ia ingin membuat raja Jawa itu merasakan superioritas nya, dengan menggebuk nya pada kesempatan pertama " ( Engelhard 1816 : 257-8 )


PERUBAHAN YANG di buat DAENDELS :

1. Pada tgl 25 February 1805 diadakan pertemuan dengan seluruh pejabat Belanda yang menjabat residen, dan inilah pengarahan nya " Para Residen harus menegaskan kehadiran mereka, dengan jelas ( ongevoelige ) kepada raja-raja Jawa betapa megah dan berkesannya para pejabat Belanda dibawah pemerintahan Napoleon agung ( waktu ini Belanda sedang dijajah Perancis ) buat mereka ( raja-raja ) itu gentar dan hormat. " - Daendels 1814 : Bijlage 1, Organique wetten 6 article 5.

2. Memutuskan hubungan antara keraton-keraton Jawa dengan para pejabat bawahan nya yang ada di wilayah pesisir Utara.

3. Membuat garis batas baru sebagai cara menganeksasi / mencaplok wilayah kerajaan-kerajaan Jawa. Terutama wilayah pantai Utara.

4. Memberhentikan semua pejabat yang diangkat oleh raja-raja Jawa, dan mencopot semua  kerabat-kerabatnya yang mempunyai jabatan strategis. Tetap mempertahankan para pejabat yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan para raja-raja Jawa.

5. Menganeksasi wilayah-wilayah lumbung beras sebagai suplai logistik garnisun-garnisun tentara Belanda wilayah selatan. Yaitu : Pajang, Mataram, Kedu, Bagelen, Banyumas, Nusa Kambangan dan Cilacap.

6. Menghapus posisi gubernur dan direktur pantai timur laut Jawa, sebagai perantara dia dan para residen. Dengan demikian para residen sekarang bertanggung jawab langsung kepada dirinya. ( Sentralisasi pemerintahan kolonial di Batavia ).

( Carey 1974 : 276-7. Houben 1994 : 54-7. Nagtegaal 1996 : 199-204 )


PEMBAHARUAN SEREMONIAL & ETIKET.

Pada 28 Juli 1808 Daendels mengumumkan secara resmi, maklumat tentang tata upacara / seremonial dan etiket : 

1. Keputusan ini banyak sekali menghapus fungsi-fungsi seremonial yang selama ini diberlakukan oleh keraton kepada para Residen / pejabat kolonial. Yang oleh Daendels dianggap sangat merendahkan martabat para pejabat Belanda.

2. Mereka ( para residen / pejabat kolonial ) mendapat gelar baru " Menteri " dan wakil langsung kerajaan Belanda.

3. Mereka juga mendapatkan seragam baru, dan diharuskan memakai payung kebesaran kerajaan Belanda yang berwarna biru dan keemasan dan ada lambang nya kerajaan Belanda. Pada waktu menemui para raja-raja Jawa. ( Selama ini hanya para raja-raja Jawa yang boleh pakai payung kebesaran )

4. Tidak lagi boleh membungkuk saat bertemu dengan raja-raja Jawa, berikan salam secara jabat tangan.

5. Tidak usah menghentikan kereta kudanya apabila berpapasan dengan kereta kuda raja dijalan umum.

( Chijs 1895-7. XIV : 63-5 )


Maklumat Daendels ini efektif sekali menghancurkan hegemoni politik dan kekuasaan raja-raja Jawa. Dan memperkuat cengkeraman Belanda.

Diponegoro menanggapi maklumat dan sepak terjangnya Daendels dengan banyak bertukar pikiran dengan para pejabat keraton dan para Residen ( paling terjepit posisinya sekarang ini adalah para Residen, disatu sisi mereka sekarang ini adalah wakil resmi Pemerintahan pusat Belanda di Batavia, tetapi disatu sisi lain mereka sebenarnya adalah pembantu para Sultan yang bahkan kadang-kadang harus menuangkan wiski ke sloki para Sultan. )

Bagi Diponegoro, reformasi Daendels ini jelas sangat menyakitkan hati.

Reaksi Sultan Hamengkubuwono adalah merubah singgasana nya menjadi lebih tinggi pada waktu upacara-upacara kenegaraan. Sehingga sultan selalu mempunyai posisi lebih tinggi daripada Residen. Hal ini dirasakan langsung oleh Residen Surakarta, Van Braam yang menjabat 1808-10 -- 1811. Saat mengunjungi Jogja pada pertengahan Oktober 1808.

Dimana sultan tidak lagi mau bercakap-cakap dengan bahasa Melayu, dan pandangan matanya liar, yang menurutnya mengindikasikan rasa curiga dan takut. Van Braam lalu melaporkannya kepada Daendels di Batavia.

Ditanggapi Deandels sebagai usaha sultan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Belanda.


Maka dimulailah tahap baru konfrontasi Kasultanan Yogyakarta melawan gubernur jenderal Guntur / Daendels. Dimana semakin lama Jogja makin tidak tahan dengan ulah para pejabatnya.


MANUVER-MANUVER MILITER : JAWA & BELANDA.

Problem bagi Daendels adalah : dalam masa transisi ini VOC sedang mengalami kebangkrutan, dan ia mengalami kesulitan untuk menggaji para serdadu dan tentara bayaran nya, tentu saja ini merusak moral para militernya. Yang secara profesional tidak bisa diandalkan.

Yang disebut oleh seorang pejabat Belanda, Nicolaus Engelhard sebagai gerombolan yang dikumpulkan secara terburu-buru ( Carey 2008 : 175 ).

Dengan menjadikan pulau Jawa sebagai pusat pertahanan militer nya, maka Daendels harus menguras kas VOC sampai ke dasar nya.

Untuk itu dia berencana untuk mengadakan tour inspeksi ke wilayah Jawa tengah dan Jawa timur. 


Tentu saja berita itu membuat gempar Keraton Jogjakarta yang sedang mengalami ketegangan hubungan dengan Belanda. Bahkan sultan sendiri langsung mengambil langkah-langkah militer dengan melatih kemampuan tenteranya juga mengadakan wajib militer ( prajurit arahan ) dari pemuda-pemuda wilayah timur.


Pada tanggal 1 Juni 1808.

Sultan memerintahkan setengah dari 10 ribu tentara nya yang kuat untuk ambil bagian dalam defile gelar pasukan besar-besaran, di Pesanggrahan nya yang terletak di sebelah timur Jogja yaitu Rojowinangun,  Dan ayah Diponegoro  ( yang kelak jadi Sultan Hamengkubuwono III ) didapuk menjadi komandan upacara dihadapan Residen  Pieter Engelhard, dan dihadapan para pejabat Belanda yang mengabarkan akan kedatangan Daendels.

Parade besar-besaran ini merupakan show of force militer Jogja terakhir sebelum kelak dilucuti habis-habisan oleh Inggris pada 1812.


Memang Ini adalah hal yang tidak umum, karena selama ini seorang Gubernur biasanya hanya inspeksi sampai Semarang, atau paling jauh itu sampai Salatiga. Dan seorang gubernur tidak pernah mencampur i urusan internal keraton, biasanya gubernur jenderal akan mengutus kalau bukan residen ya perwakilan resmi pemerintah Belanda dari Batavia.

Hal ini dicatat dengan seksama oleh Diponegoro dalam serat babad Diponegoro 11 : 50.

- " Maka gubernur jenderal itu ( Daendels ) sampai di Jawa ( tengah.) "

- " Ia tiba di Surakarta terlebih dahulu, dan ingin terus ke Jogja, tetapi kanjeng Sultan tidak berkenan, sebab belum pernah terjadi di masa sebelumnya, bahwa seorang gubernur jenderal datang ke Jawa ( tengah ) kalaupun datang ke Jawa ( tengah ) mereka akan berhenti di Semarang atau paling jauh hanya sampai Salatiga "


Besok : Ketegangan & kegemparan menyambut Gubernur jenderal Willem Herman Daendels.

Gambar : Gubernur jenderal Willem Herman Daendels.